MAKALAH
HADITS TENTANG HIWALAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I.
Disusun Oleh:
1. Dimas Ilham Y. (63040190164)
2. Agung Saputro (63040190167)
3. Salwa Zakiyah N. (63040190184)
4. Bening Hanny C. (63040190187)
KELAS 3E
PROGRAM STUDI MANAGEMEN BISNIS SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
IAIN SALATIGA
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “HADITS TENTANG HIWALAH”
ini. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata
kuliah hadits. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah
Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh
dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan
dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala
bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat
bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat bagi kita
semua, khususnya bagi penulis sendiri.
Salatiga, November 2020
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian, Rukun, dan Syarat Hiwalah 2
B. Hadits tentang Hiwalah 5
C. Teknis Pelaksanaan Hiwalah 7
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan 10
B. Saran 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur
cara hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya, bermuamalah
kepada sesama manusia. Di antara muamalat yang telah diterapkan kepada kita ialah Al
Hiwalah. Al Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan
kepada manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan
manusia.
Al hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu
cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah al hiwalah.
Al Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang,akan
tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang
lain atau syarikat dan firma. sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem
perbankan.
Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang al Hiwalah.yang
berkaitan dengan definisi, dalil yang berkaitan, rukun dan syarat. Penulis juga akan
membicarakan mengenai al Hiwalah di dalam sistem perbankan dan hal lain yang
berkaitan dengan hiwalah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan hiwalah dan apa syarat hiwalah?
2. Apa saja hadits-hadits tengang hiwalah?
3. Bagaimana teknis pelaksanaan hiwalah?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian hiwalah serta rukun dan syarat hiwalah.
2. Memahami hadits-hadits tengang hiwalah.
3. Memahami teknis pelaksanaan hiwalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian, Rukun, dan Syarat Hiwalah
1. Pengertian Hiwalah
Secara bahasa hiwalah diambil dari kata tahawwul yang artinya berpindah.
Dinamakan demikian karena akad ini memindahkan utang dari tanggungan
seseorang menjadi tanggungan orang lain. Secara etimologi pengalihan hutang dalam hukum Islam disebut sebagai
hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu al-intiqal dan at-tahwil, artinya adalah
memindahkan atau mengalihkan.
Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam
mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
a) Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah.
نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain
yang punya tanggung jawab pula”.
b) Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
نقل الدين من دمة إلى دمة
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab
orang lain”.
c) Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada
yang lain”.
d) Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah
adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi
beban orang lain”.
e) Ensiklopedi hukun islam
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam Pemindahan hak atau kewajiban
yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut
pembayaran hutang atau membayar hutang dari atau kepada pihak ketiga,
karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan pihak pertama
berutang kepada pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada
pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang kepada pihak pertama.
Perpindahan itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan
dalam akad ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama”.
2. Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan qabul yang
dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah.
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada
enam yaitu
a. Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
b. Muhal (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu
orang yang mempunyai piutang).
c. Muhal‘alaih (orang yang dipindahkan kepadanya obyek penagihan atau orang
yang dihiwalahi yaitu orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah)
d. Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang muhil kepada muhal)
e. Hutang muhal‘alaih kepada muhil
f. Shighat hiwalah (pernyataan hiwalah yaitu, ijab dan qabul. Ijab dari muhil
dengan kata-katanya “aku hiwalahkan hutangku kepada si fulan”. Dan qabul
adalah dari muhal‘alaih dengan kata-katanya “aku terima hiwalah engkau”)
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa perbuatan
hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak
pertama, pihak kedua, dan pihak ketiga, serta yang berkaitan dengan utang itu
sendiri.
Adapun syarat-syarat hiwalah menurut para fuqaha adalah:
1. Syarat yang diperlukan pada muhil (orang yang mengalihkan hutang) adalah:
a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan
berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia sudah
mengeri (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila.
b. Adanya pernyataan persetujuan atau kerelaan (ridla). Jika muhil dipaksa
untuk melakukan hiwalah, maka akad tersebut tidak sah. Adanya persyaratan
ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan
terhina harga dirinya jika kewajibannya untuk membayar hutang dialihkan
kepada pihak lain, meskipun pihak lain itu memang berutang padanya.
2. Syarat yang diperlukan pada muhal (orang yang memberi hutang) adalah:
a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal, sebagaimana
muhil.
b. Mazhab Hanafi, sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan
adanya persetujuan muhal terhadap muhil yangmelakukan hiwalah.
3. Syarat yang diperlukan bagi muhal ‘alaih adalah
a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat
pada kedua pihak sebelumnya.
b. Mazhab Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan persetujuan dari pihak
muhal ‘alaih. Sedangkan ketiga mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal itu.
c. Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani menambahkan
bahwa qabul (pernyataan menerima akad) tersebut dilakukan dengan
sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.
B. Haidts Tentang Hiwalah
Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang merupakan
bentuk manifestasi dari semangat ayat tersebut. Landasan syariah Hawalah: Abi
Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sabda Rosullah saw:
“Dari Abu Khurairah Radhiyallah Anhu, bahwa Rasulullah Shallahhu Alaihi wa Sallam
bersabda, ‘penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah
seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka
hendaklah dia menerimanya,. (HR Bukhari-Muslim).
Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan,
jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan
berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti
(menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian
hakknya dapat terpenuhi (dibayar).
Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan
oleh masyarakat.hal ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan dari abu hurairah
bahwa rasul saw bersabda
الغن ظلم ,وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع ُي مطل
Artinya:
“Menunda-nunda pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan
apabila salah seorang diantara kamu di ikutkan (dipindahkan) kepada orang yang
mampu maka ikutilah” (HR bukhori dan mislim).
Akad hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’.
Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada
kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallohu ‘anhu dari
Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda membayar hutang bagi orang
kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada
orang kaya, hendaklah ia ikuti”.
Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang
mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada
orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat
membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak
berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang bukan
pemindahan bendah.
Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang
mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada
orang yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang
memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman berhak
mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama.
Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama adalah wajib,
namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan
qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli utang
dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan
bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan
termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kalaupun itu jual beli utang
7
dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya, bahkan ka’idah-ka’idah syara’
menghendaki harus boleh…dst.”.
C. Teknis Pelaksanaan Hiwalah
Take over berarti mengambil alih, atau dalam lingkup suatu perusahaan adalah
perubahan kepentingan pengendalian suatu perseroan. Terkait itu, take over syariah
adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi nonsyariah yang telah berjalan yang dilakukan oleh bank syariah atas permintaan nasabah.
Berdasarkan Fatwa Dewan Syari-ah Nasional, take over disebut juga peng-alihan
hutang. Pengalihan hutang yang dimaksud disini adalah pengalihan transaksi nonsyariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Take over
merupakan proses perpindahan kredit nasabah di bank konvensional menjadi
pembiayaan dengan prinsip jual beli yang berdasarkan syariah. Pada proses take over
ini, bank syariah sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang
dimiliki calon nasabahnya di bank konven-sional. Bertindak sebagai wakil dari calon
nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti
lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi, sehingga barang (yang dikredit-kan)
menjadi milik nasabah secara utuh. Kemudian, untuk melunasi hutang nasabah kepada
bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali (barang yang dikreditkan)
tersebut kepada bank syariah. Kemudian, bank syariah akan menjual lagi kepada
nasabah dengan pilihan kombinasi akad yang tertera dalam Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No: 31/DSN-MUI/VI/2002 ten-tang Pengalihan Hutang.
Penerapan kontrak hawalah dalam sistem perbankan biasanya di tetapkan pada
hal-hal berikut:
1. Faktoring atau anjak piutang, di mana para nasabah yang memiliki piutang kepada
pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang
dan menagihnya dari pihak ketiga itu.
2. Post-dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar dulu
piutang tersebut.
3. Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah, hanya saja,
dalam Bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee
tidak di dapati dalam kontrak hawalah.
Perbankan syariah tidak menganut sistem bunga, namun lebih mengedepankan rasa
tolong menolong, salah satunya yaitu dalam fasilitas take over yang ada di bank Syariah.
Take over yang ada di sini yaitu pengalihan utang dari bank ke bank, yang mana nasabah
mempunyai utang ke bank A kemudian mengalihkannya ke bank B, yaitu dengan cara
bank B memberikan qardh kepada nasabah dan dengan qardh tersebut nasabah dapat
melunasi utang yang ada di bank lama, qardh berupa pinjaman tanpa adanya tambahan
karena setiap tambahan mengandung riba. Setelah nasabah melunasi utang yang ada di
bank lama nasabah pun terbebas dan tidak mempunyai tanggungan, akan tetapi nasabah
mempunyai tanggungan untuk melunasi qardh yang telah diberikan oleh bank B.
Berikut ini Sifat-sifat dari fasilitas pengalihan Al-Hiwalah:
1. Kebanyakan ulama tidak memperboleh-kan pengambilan manfaat (imbalan) atas
pengalihan hutang-piutang tersebut antara lain dengan menguragi jumlah piutang
atau menambah jumlah hutang tersebut.
2. Bank hanya boleh membebankan fee atas jasa penagihan.
3. Dalam dunia perbankan Hiwalah dapat diterapkan dalam proses “Debt Transfer”.
4. Mengacu pada pengertian di atas debt transfer dapat di lakukan karena: seandai-nya
A berhutang ke C dan B berhutang ke A atas permintaan A dapat melakukan
pembayaran ke C. dalam hal ini; A. Dapat dianggap sebagai nasabah, B; Dapat
dianggap sebagai bank, C; dapat dianggap sebagai mitra usaha nasabah.
Hutang A ke C adalah transaksi yang harus dilunasi akibat bisnis/perdagangan di
antara mereka. Hutang B ke A adalah deposit nasabah di bank atas permintaan A, B
dapat melakukan pemindah bukuan untuk keuntungan C untuk usaha ini bank dapat
mengenakan fee kepada nasabah.
Skema Hiwalah:
1. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil adalah
gugur. Andaikan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah
hiwalah atau meninggal dunia. Maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada
muhil, hal ini adalah pendapat ulama jamhur.
2. Menurut Imam Abu Hanifah kreditur bisa menagih piutangnya kepada debitur
terdahulu, apabila yang menerima pemindahan hutang itu meninggal dalam
keadaan pailit atau mengingkari pemindahan hutang tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari seseorang yang berhutang kepada
orang lain, dan orang lain tersebutlah yang wajib menanggungnya. Penjelasan yang
dimaksud adalah seseorang yang memiliki hutang dan memindahkan hutangnya kepada
orang lain disebut sebagai muhil, orang yang mempunyai hutang dan menerima hiwalah
atas muhil disebut muhal, sedangkan orang yang berkewajiban membayar hutang atau
yang dilimpahi hutang oleh muhil disebut
muhal‘alaih.
muhal‘alaih.
Dari beberapa penjelasan di atas tentang hiwalah, penulis menyimpulkan bahwa
hiwalah merupakan pengalihan hutang, baik berupa hak untuk mengalihkan
pembayaran atau kewajiban untuk mendapatkan pembayaran hutang, dari orang lain
disertai rasa percaya dan kesepakatan bersama.
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi
kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi
merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi
sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama
mempelajari materi ini dan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press.
Dahlan, Abdul Azis. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Sabiq, Sayyid. 1990. Fiqih al-Sunnah, Jilid 3. Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Arabiy.
Sjahdeini, Sultan Remy. 1999. Perbankan Dalam Islam Dan Kedudukannnya Dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia. Kota Padang: Pustaka Utama Grafiti.
Fasiha. 2016. “Pengalihan Hutang Dalam Ekonomi Islam”. Jurnal od Islamic Economic Law,
1 (1): 81-89
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/07/makalah-ayat-ayat-alqurantentang.html#:~:text=Pada%20hadits%20ini%20Rasulullah%20memerintahkan,alaih)%2C%2
0dengan%20demikian%20hakknya%20dapat
https://andyyjr20.blogspot.com/2018/03/makalah-fiqih-muamalah-hiwalah.html
https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/materi-diskusi-hadits-ekonomi-hawalah/
http://eprints.walisongo.ac.id/334/2/072311032_Bab2.pdf
https://rindaa16.blogspot.com/2019/08/makalah-hiwalah-serta-implementasi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar