Rabu, 25 November 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok V : Hadist Tentang Ariyah

 RESUME HADIST TENTANG ARIYAH

A. Pengertian Al-Ariyah

Al ariyah berasal dai bahasa Arab (العا ر ية) diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat al-ariyah berasal dari kata (ال تعاور) yang artinya sama dengan (ال تناوب ا ال تناول) artinya saling tukar menukar, yaitu dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah hak mutlak atas suatu benda tersebut, dimana hak tersebut memberikan kekuasaan langsung pada pemiliknya. Dalam ketentuan kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “pinjammeminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

B. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam akad „ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:

1. Mu‟ir (orang yang memberikan pinjaman)

2. Musta‟ir (orang yang mendapatkan pinjaman)

3. Mu‟ar (barang yang dipinjamkan)

Adapun syarat-syarat „ariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat.

1.  Syarat-syarat orang yang meminjamkan

a.  Baligh. ‘Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetap ulama’ hanfiyah tidak memasukkan baligh sebagai syarat ‘ariyah, melainkan cukup mumayyiz.

b.  Berakan. ‘Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.

c.  Tidak mahjur ‘alaih karena boros.

2. Syarat-syarat orang yang meminjam

Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.  Orang yang meminjam harus jelas.

b. Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’

3. Syarat-syarat  barang yang dipinjam

Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.  Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, hak pada waktu sekarang atau nanti. Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak boleh dipinjamkan.

b. Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambik manfaatnya menurut syara’. Apabila barang tersebut diharamkan maka ‘ariyah hukumnya tidak sah.

c.  Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman, sudah pasti akan habis.

4. Shigat, dengan syarat:

Suatu ungkapan yang dapat menujukan adanya izin untuk memanfaatkan barang yang dipinjam kan seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu”. Atau ungkapan yang dapat menunjukan adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan “pinjamkan kepadaku” dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya.

 C. Landasan Hukum tentang Al-‘Ariyah

1. Al-Qur’an

a) Q.S Al-Maidah ayat 2

Dalam surat ini dijelaskan bahwa sebagai umat muslim kita harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan  keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalanghalangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janga tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh. Allah sangat berat siksaan-Nya.

2. Hadist

a) Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i

Artinya : Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

D. Ragam Akad Al-Ariyah

Konsekuensi memahami dan menjelaskan hakikat al-Ariyah dari sudut pandang yang berbeda, maka para ulama berbeda pendapat dari berbagai persepsinya, antara lain:

1. Makna akad i'arah secara hakiki (bukan majazi)

2. Konsekuensi akad I’arah, menurut

3. Alasan ulama Hanafiah adalah bahwa dalam akad I’arah terkandung akad wakalah yang bersifat mutlak 

4. Alasan ulama Syafi’iah & Hanablah adalah bawah akad I ‘arah hanya mengandung izin pemanfaatan (bukan wakalah mutlak).

5. Ulama Hanafiah, Syafi’iah & Hanabilah sepakat bahwa pinjaman tidak boleh menyawakan barang dimaksud kepada orang lain.

 Orientasi pinjaman terbatas (muqayyad) antara lain :

1. Apabila disepakati bahwa barang pinjaman itu hanya boleh digunakan oleh peminjam,

pinjaman hanya boleh  menggunakan barang untuk kepentingannya sendiri (peminjam tidak boleh meminjamkannya kepada pihak lain).

2. Apabila pemilik barang (yang meminjamkan) menentukan waktu atau tempa penggunaan barang pinjaman, kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab  dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman.

3. Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas maksimun atas barang yang boleh  diangkut oleh barang pinjaman (misalnya barang jaminan berupa kendaraan atau kuda) , kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman.

4. Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas mengenai kondisi daerah (lokasi) yang (boleh) dapat dilewati atau tempat penyimpanannya (misalnya barang pinjaman tidak boleh digunakan untuk berkunjung ke daerah konflik atau kendaraan yang tidak boleh disimpan selain di garasi pada malam hari), kemudian peminjam melarangnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan ganti rugi apabila terjadi kerusakan dan kehilangan barang pinjaman.

 

E. Perbedaan antara akad Al-‘Ariyah, Akad Qardh, dan Wadi’ah

 

1.  Akad Qardh, disebut juga akad pinjam meminjam. Obyek yang pinjam adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat.

2.  Akad Wadi'ah, merupakan akad penitipan barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyah maupun harta ghair mitsli.

3.  Akad Ariyah, disebut juga akad pinjaman. Obyeknya yang dipinjam adalah barang

(sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyat maupun harta ghair mitsli.

F. Sifat akad Al-‘Ariyah dengan Tanggung Jawabnya

Persoalan ini para ulama terdapat beragan pendapat, antara lain :

1.  Ulama Hanafiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth berpendapat

bahwa barang pinjaman merupakan amanah yang berada di bawah kekuasaan peminjam, baik pada saat barang itu dipakai maupun tidak dipakai.

2.  Ulama Malikiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bidayat Al-Mujtahid dan

Hasyiyah al-Dasuki membagi barang pinjaman menjadi dua : Pertama, barang

pinjaman yang memungkinkan disembunyikan, seperti pakaian dan perhiasan. Kedua,

barang pinjaman yang tidak mungkin disembunyikan, seperti binatang dan kendaraan.

3.  Ulama Syafi'iah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Muhadzzab & kitab al Majmuk, beliau berpendapat bahwa barang pinjaman bersifat dhamanah di tangan

peminjam.

Pada intinya barang pinjaman yang bersifat amanah bagi peminjam. Oleh karena itu peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang karena kelalaian. Dalam kitab al-Bada'i al-Shama'i dijelaskan tentang wajibnya peminjam mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dalam kondisi berikut :

1. Peminjam  secara sengaja menghilangkan barang pinjaman, misalnya dengan cara

membuangnya, meminta pihak lain untuk mencurinya, atau tidak menyerahkannya kepada pemiliknya setelan berakhirnya masa pinjaman.

2. Lalai dalam  menjaga barang pinjaman pada saat dimanfaatkan atau disewakan.

3. Menggunakanya untuk sesuatu yang tidak disepakati (mukhalafat al-syuruth) atau untuk sesuatu penggunaan yang tidak umum untuk barang pinjaman tersebut.

G. Karakteristik dalam Akad Al-Ariyah

Akad al-Ariyah merupakan akad yang bersifat tabarru' karena dalam akad ini pemilik barang  yang dipinjamkan  tidak  memperoleh imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak  peminjam. Karenanya para ulama berbeda pendapat, diantaranya:

1.  Ulama Hanafiah & Syafi'iah sepakat bahwa akad I'arah boleh dilakukan tanpa batas jangka waktu penggunaan barang jaminan. Konsekuensinya bahwa pihak yang

meminjamkan boleh memnita kembali barang pinjaman kepada peminjam kapan saja,

baiki akad I'arahnya yang bersifat mutlak muapun bersifat terbatas.

2.  Ulama Malikiah berpendapat bahwa pemberian pinjaman tidak boleh meminta kembali barang yang pinjamkan, kecuali setelah peminjam mengambil manfaatnya barang pinjaman tersebut. Apabila pinjaman bersifat terbatas (waktu), pihak yang meminjamkan tidak boleh mengambil barang pinjaman sebelum jangka waktunya selesai.

3.  Ulama Hanafiah menganalisis pinjaman tanah dari segi sifat akad i'arah terikat

(muqayyadah) atau tidak terikat (muthlaq).

H. Berakhirnya Akal Al-Ariyah

Akad pinjaman dapat berakhir karena beberapa hal, antara lain :

1. Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh),

2. Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang disepakati berakhir atau belum,

3. Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah), taghoyur (akalnya berubah-ubah), maupun karena berada di bawah pengampunan (dihukum),

4. Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman (sebagian jumhur ulama) merupakan izin pemanfaatan.

5. Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman, pihak yang brangkrut tidak boleh mengabaikan manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberi utang kepadanya.

Pendapat 

Pendapat saya mengenai Hadist tentang Ariyah ini adalah Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu aktivitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya , ‘ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang memerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Oleh sebab itu, para ulama biasanya mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan memberi imbalan. 

Dalam kegiatannnya ariyah memiliki sayarat dan rukun tertentu untuk dipenuhi agar sah akadnya. Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Harta yang dipinjamkan harus berada dalam kekuasaan si pemilik, dengan kata lain jika harta yang dipinjamkan bukan miliknya sendiri maka gugurlah transaksi tersebut.

Lebih baik dalam kegiatan ariyah ini, pinjaman tersebut di lunaskan sesuai jadwal agar tidak terjadi kesalah pahaman. Kegiatan ini biasanya menimbulkan keributan apalagi sesama teman atau keluarga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok X : Hadits Tentang Wakalah

  Hadist Tentang Wakalah A.     Pengertian Wakalah  Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti  menyerahkan atau mewak...