Hadist Tentang Salm Dan Istishna'
A. Pengertian Salam
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Untuk hal ini para fuqaha menamainya dengan Al-Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu. Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam , pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi , dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih , serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam .
Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat 282
“”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi “”Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu. Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan pembayaran yang didahulukan. Dengan melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.
B. Dasar Hukum Salam
1. Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.
2. Hadis Jual Beli Salam
“Ibn Abbas menyatakan bahwa ketika Rasul datang ke Madinah, penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk jangka satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasul bersabda: Siapa yang melakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu”. (Muslich, 2015: 243).
3. Ijma’
Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia.
C. Rukun dan Syarat Salam
Menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun jual beli salam adalah sebagai berikut :
I. Muslam (pembeli)
II. Muslam ilaih (penjual)
III. Modal atau Utang
IV. Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
V. Shigat adalah ijab dan qabul
Syarat-syarat Salam :
I. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad.
II. Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.
III. Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.
IV. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya.
V. Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang tersebut.
D. Teknik Pelaksanaan Salam
Ada salam jenis lain yaitu salam paralel. Akad ini mengesahkan akad salam yang lain. Akad salam pertama dipersingkat untuk memudahkan akad salam kedua, namun tidak ada kaitan yang saling bergantung di antara kedua akad salam tersebut. Bank kemudian akan menerimanya pada waktu yang ditentukan melalui wakil yang ditunjuknya.
E. Pengertian Istishisna’
Istishna secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah , Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan penjual. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah.
F. Subjek Istishisna’
-Pokok kontrak : Mashnu’, barang ditangguhkan dengan spesifikasi.
-Bisa di awal, tangguh, dan di akhir.
-Mengikat secara ikutan : Menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
G. Dasar Hukum Istghisna’
Al-Quran
Pembiayaan istishna di atur dalam Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275) Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,”
As-Sunnah
As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu :
Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim) Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan.
-Al Ijma’
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya.
H. Rukun dan Syarat Istisghna’
Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :
I. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli)
II. objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman)
III. Shighah, yaitu ijab dan qobul
I. Dalil Tentang Istisghna’
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)
J. Teknik Pelaksanaan Istisghna’
Adapun Paralel istisna adalah bukan Istisna yang umumnya berjalan di tengah masyarakat. Produk barang yang dibuatnya adalah mengacu pada ciri-ciri barang yang telah disepakati pada akad pertama, dimana bank pada saat itu adalah sebagai pihak yang meminta untuk dibuatkan. Posisi bank dalam akad istisna yang pertama, dianggap sebagai penanggung biaya pada istisna paralel, sehingga bank berhak mendapatkan untung.
Pendapat tentang Materi Hadist Tentang Salm Dan Istishna’
Menurut saya,sebenarnya sistem jual beli sudah ada sejak jaman Rasulullah dulu, dan itu merupakan sebuah ajaran yang dibenarkan jika pelaksanaanya dilakukan baik dan benar. menjalankan jual beli dengan niat untuk ibadah akan menjadikan keberkahan dalam pelaksanaannya. dan tentunya harus sesuai dengan hukum syariat islam yang telah ditetapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar