Rabu, 25 November 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok V : Hadist Tentang Ariyah

 RESUME HADIST TENTANG ARIYAH

A. Pengertian Al-Ariyah

Al ariyah berasal dai bahasa Arab (العا ر ية) diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat al-ariyah berasal dari kata (ال تعاور) yang artinya sama dengan (ال تناوب ا ال تناول) artinya saling tukar menukar, yaitu dalam tradisi pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar tetap dapat dikembalikan kepada pemiliknya.

Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah hak mutlak atas suatu benda tersebut, dimana hak tersebut memberikan kekuasaan langsung pada pemiliknya. Dalam ketentuan kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “pinjammeminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

B. Rukun dan Syarat ‘Ariyah

Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam akad „ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:

1. Mu‟ir (orang yang memberikan pinjaman)

2. Musta‟ir (orang yang mendapatkan pinjaman)

3. Mu‟ar (barang yang dipinjamkan)

Adapun syarat-syarat „ariyah berikut dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat.

1.  Syarat-syarat orang yang meminjamkan

a.  Baligh. ‘Ariyah tidak sah dari anak yang masih di bawah umur, tetap ulama’ hanfiyah tidak memasukkan baligh sebagai syarat ‘ariyah, melainkan cukup mumayyiz.

b.  Berakan. ‘Ariyah tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila.

c.  Tidak mahjur ‘alaih karena boros.

2. Syarat-syarat orang yang meminjam

Orang yang meminjam harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.  Orang yang meminjam harus jelas.

b. Orang yang meminjam harus memiliki hak tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’

3. Syarat-syarat  barang yang dipinjam

Barang yang dipinjam harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a.  Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, hak pada waktu sekarang atau nanti. Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti mobil yang mogok, tidak boleh dipinjamkan.

b. Barang yang dipinjamkan harus berupa barang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambik manfaatnya menurut syara’. Apabila barang tersebut diharamkan maka ‘ariyah hukumnya tidak sah.

c.  Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Dengan demikian, tidak sah meminjamkan makanan dan minuman, sudah pasti akan habis.

4. Shigat, dengan syarat:

Suatu ungkapan yang dapat menujukan adanya izin untuk memanfaatkan barang yang dipinjam kan seperti ungkapan “aku pinjamkan kepadamu”. Atau ungkapan yang dapat menunjukan adanya permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan “pinjamkan kepadaku” dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya.

 C. Landasan Hukum tentang Al-‘Ariyah

1. Al-Qur’an

a) Q.S Al-Maidah ayat 2

Dalam surat ini dijelaskan bahwa sebagai umat muslim kita harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan  keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalanghalangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janga tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh. Allah sangat berat siksaan-Nya.

2. Hadist

a) Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i

Artinya : Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.

D. Ragam Akad Al-Ariyah

Konsekuensi memahami dan menjelaskan hakikat al-Ariyah dari sudut pandang yang berbeda, maka para ulama berbeda pendapat dari berbagai persepsinya, antara lain:

1. Makna akad i'arah secara hakiki (bukan majazi)

2. Konsekuensi akad I’arah, menurut

3. Alasan ulama Hanafiah adalah bahwa dalam akad I’arah terkandung akad wakalah yang bersifat mutlak 

4. Alasan ulama Syafi’iah & Hanablah adalah bawah akad I ‘arah hanya mengandung izin pemanfaatan (bukan wakalah mutlak).

5. Ulama Hanafiah, Syafi’iah & Hanabilah sepakat bahwa pinjaman tidak boleh menyawakan barang dimaksud kepada orang lain.

 Orientasi pinjaman terbatas (muqayyad) antara lain :

1. Apabila disepakati bahwa barang pinjaman itu hanya boleh digunakan oleh peminjam,

pinjaman hanya boleh  menggunakan barang untuk kepentingannya sendiri (peminjam tidak boleh meminjamkannya kepada pihak lain).

2. Apabila pemilik barang (yang meminjamkan) menentukan waktu atau tempa penggunaan barang pinjaman, kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab  dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman.

3. Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas maksimun atas barang yang boleh  diangkut oleh barang pinjaman (misalnya barang jaminan berupa kendaraan atau kuda) , kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan melakukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman.

4. Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas mengenai kondisi daerah (lokasi) yang (boleh) dapat dilewati atau tempat penyimpanannya (misalnya barang pinjaman tidak boleh digunakan untuk berkunjung ke daerah konflik atau kendaraan yang tidak boleh disimpan selain di garasi pada malam hari), kemudian peminjam melarangnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan ganti rugi apabila terjadi kerusakan dan kehilangan barang pinjaman.

 

E. Perbedaan antara akad Al-‘Ariyah, Akad Qardh, dan Wadi’ah

 

1.  Akad Qardh, disebut juga akad pinjam meminjam. Obyek yang pinjam adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat.

2.  Akad Wadi'ah, merupakan akad penitipan barang (sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyah maupun harta ghair mitsli.

3.  Akad Ariyah, disebut juga akad pinjaman. Obyeknya yang dipinjam adalah barang

(sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyat maupun harta ghair mitsli.

F. Sifat akad Al-‘Ariyah dengan Tanggung Jawabnya

Persoalan ini para ulama terdapat beragan pendapat, antara lain :

1.  Ulama Hanafiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth berpendapat

bahwa barang pinjaman merupakan amanah yang berada di bawah kekuasaan peminjam, baik pada saat barang itu dipakai maupun tidak dipakai.

2.  Ulama Malikiah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Bidayat Al-Mujtahid dan

Hasyiyah al-Dasuki membagi barang pinjaman menjadi dua : Pertama, barang

pinjaman yang memungkinkan disembunyikan, seperti pakaian dan perhiasan. Kedua,

barang pinjaman yang tidak mungkin disembunyikan, seperti binatang dan kendaraan.

3.  Ulama Syafi'iah, sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Muhadzzab & kitab al Majmuk, beliau berpendapat bahwa barang pinjaman bersifat dhamanah di tangan

peminjam.

Pada intinya barang pinjaman yang bersifat amanah bagi peminjam. Oleh karena itu peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang karena kelalaian. Dalam kitab al-Bada'i al-Shama'i dijelaskan tentang wajibnya peminjam mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang pinjaman dalam kondisi berikut :

1. Peminjam  secara sengaja menghilangkan barang pinjaman, misalnya dengan cara

membuangnya, meminta pihak lain untuk mencurinya, atau tidak menyerahkannya kepada pemiliknya setelan berakhirnya masa pinjaman.

2. Lalai dalam  menjaga barang pinjaman pada saat dimanfaatkan atau disewakan.

3. Menggunakanya untuk sesuatu yang tidak disepakati (mukhalafat al-syuruth) atau untuk sesuatu penggunaan yang tidak umum untuk barang pinjaman tersebut.

G. Karakteristik dalam Akad Al-Ariyah

Akad al-Ariyah merupakan akad yang bersifat tabarru' karena dalam akad ini pemilik barang  yang dipinjamkan  tidak  memperoleh imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak  peminjam. Karenanya para ulama berbeda pendapat, diantaranya:

1.  Ulama Hanafiah & Syafi'iah sepakat bahwa akad I'arah boleh dilakukan tanpa batas jangka waktu penggunaan barang jaminan. Konsekuensinya bahwa pihak yang

meminjamkan boleh memnita kembali barang pinjaman kepada peminjam kapan saja,

baiki akad I'arahnya yang bersifat mutlak muapun bersifat terbatas.

2.  Ulama Malikiah berpendapat bahwa pemberian pinjaman tidak boleh meminta kembali barang yang pinjamkan, kecuali setelah peminjam mengambil manfaatnya barang pinjaman tersebut. Apabila pinjaman bersifat terbatas (waktu), pihak yang meminjamkan tidak boleh mengambil barang pinjaman sebelum jangka waktunya selesai.

3.  Ulama Hanafiah menganalisis pinjaman tanah dari segi sifat akad i'arah terikat

(muqayyadah) atau tidak terikat (muthlaq).

H. Berakhirnya Akal Al-Ariyah

Akad pinjaman dapat berakhir karena beberapa hal, antara lain :

1. Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh),

2. Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang disepakati berakhir atau belum,

3. Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah), taghoyur (akalnya berubah-ubah), maupun karena berada di bawah pengampunan (dihukum),

4. Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman (sebagian jumhur ulama) merupakan izin pemanfaatan.

5. Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman, pihak yang brangkrut tidak boleh mengabaikan manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan pemberi utang kepadanya.

Pendapat 

Pendapat saya mengenai Hadist tentang Ariyah ini adalah Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu aktivitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya , ‘ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang memerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Oleh sebab itu, para ulama biasanya mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan memberi imbalan. 

Dalam kegiatannnya ariyah memiliki sayarat dan rukun tertentu untuk dipenuhi agar sah akadnya. Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Harta yang dipinjamkan harus berada dalam kekuasaan si pemilik, dengan kata lain jika harta yang dipinjamkan bukan miliknya sendiri maka gugurlah transaksi tersebut.

Lebih baik dalam kegiatan ariyah ini, pinjaman tersebut di lunaskan sesuai jadwal agar tidak terjadi kesalah pahaman. Kegiatan ini biasanya menimbulkan keributan apalagi sesama teman atau keluarga

Selasa, 17 November 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok IV : Hadist Tentang Al-Qardh

Hadist Tentang Al-Qardh

Al-Qardh atau hutang piutang adalah perkara yang tidak bisa dipisahkan dengan  kehidupan  manusia.  keridakmerataan  materi  adalah  salah  satu penyebab  utama  transaksi  ini  muncul.  Islam  sebagai  agama  yang  mengatur segala  urusan  yang  ada  dalam  kehidupan  manusia  termasuk  al-Qardh  ini. Konsep  hutang  puitang  dalam  islam  pada  dasarnya  adalah  untuk mempermudah  bagi  yang  memiliki  kekurangan  dalam  hal  yang  bisa ditanggungkan.

 

A.    Pengertian Al-Qardh

Al-Qardh dalam arti bahasa berasal dari kata qaradha yang sinonimnya qatha'a (عطق)  yang  berarti  memotong.  Diartikan  demikian  karena  orang  yang  memberikan utang memotong sebagian dari hartanya untuk diberikan kepada orang yang menerima utang (muqtaridh).

Secara  istilah  dikutip  dari  antonio  syafi’i  Al-Qardh  adalah  pemberian  harta kepada  orang  lain  yang  dapat  ditagih  atau  diminta  kembali  atau  dengan  kata  lain meminjamkan  tanpa  mengharapkan  imbalan.  Dalam  literatur  fiqih  klasik,  qardh dikategorikan dalam aqad  tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.

Dari  begitu  banyak  definisi  Qardh  dapat  ditarik  kesimpulanya  Qardh  adalah pemberian pinjaman kepada orang lain yang dapat ditagih atau dikembalikan segera tanpa mengharapkan imbalan dalam rangka tolong menolong, dengan kata lain uang pinjaman  tersebut  kembali  seperti  semula  tanpa  penambahan  ataupun  pengurangan dalam  pengembaliannya.Utang  piutang  merupakan  bentuk  Muamalah  yang  bercorak ta’awun (pertolongan) kepada pihak lain untuk memenuhi kebutuhannya.

 

B. Landasan-Landasan Al-Qardh

1. Al-Qur’an

a.       QS. Al-Hadid ayat 11

من دا الذى يقر ض االه قر ضا حسنا فيضعفه له و له ا خر كر يم

Artinya:  “Siapakah  yang  mau  meminjamkan  kepada  Allah  pinjaman yang  baik,  Allah  akan  melipatgandakan  (balasan)  pinjaman  itu untuknya  dan  dia  akan  memperoleh  pahala  yang  banyak.”  (QS.  Al Hadidt : 11)

b.      QS. Al-Baqarah ayat 245

“Barang siapa yang meminjami Allah dengan pinjaman yang

baik  (menafkahkan  hartanya  di  jalan  Allah),  Maka  Allah  akan

meperlipat gandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan

dan  melapangkan  (rezki)  dan  kepada-Nya-lah  kamu  dikembalikan.”

(QS. Al-Baqarah:245)

2. Hadist

a)      Riwayat  Imam  Muslim  yang  bersumber  dari  Abu  Rafi’  r.a

Dari  Abu  Rafi’i  (katanya):  Sesungguhnya  Nabi  Saw  mengutang  dari  seseorang  anak  sapi.  Setelah  datang  pada  beliau  unta dari unta-unta sedeqah (zakat), lalu beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk melunasi  utangnya  kepada  lelaki  itu  berupa  anak  unta  tersebut.  Kata Abu Rafi’ : tidak saya dapati selain unta yang baik yang berumur enam tahun masuk tujuh tahun (Raba’iyyah). Lalu beliau bersabda : Berilah dia unta yang baik dan besar itu, karena sesungguhnya sebaik baiknya orang adalah orang yang paling baik cara melunasi utangnya.

b)      Riwayatkan Ibnu Majah, Nabi SAW bersabda:

“Dari  Ibn  Mas’ud  ra,  bahwa  Nabi  SAW  bersabda:  Tidaklah seorang  Muslim  memberikan  pinjaman  kepada  orang  Muslim  lainnya sebanyak  dua  kali  pinjaman,  melainkan  layaknya  ia  telah menyedekahkan satu kali.”

C. Rukun dan Syarat Al-Qardh

a)      Rukun Al-Qardh

i. Pelaku  yang  terdiri  dari  pemberi  (muqridh)  dan  penerima

pinjaman (muqtaridh).

ii. Objek akad, berupa uang yang dipinjamkan.

iii. Ijab kabul atau serah terima

b)      Syarat-Syarat Al-Qardh

i.  Akad qardh dilakukan dengan sighat ijab dan qabul atau bentuk

lain yang dapat menggantikanya, seperti muatah (akad dengan

tindakan/saling memberi dan saling mengerti).

ii.  Kedua  belah  pihak  yang  terlibat  akad  harus  cakap  hukum

(berakal,  baligh  dan  tanpa  paksaan).  Berdasarkan  syarat  ini,

maka qardh sebagai akad tabrau’ (berderma/sosial), maka akad

qardh yang dilakukan anak kecil, orang gila, orang bodoh atau

orang yang dipaksa, maka hukumnya tidak sah.

iii.   Menurut kalangan hanafiyah, harta yang dipinjamkan  haruslah

harta  yang  ada  padanannya  di  pasaran,  atau  padanan  nilainya

(mitsil),  sementara  menurut  jumhur  ulama,  harta  yang

dipinjamkan  dalam  qard  dapat  berupa  harta  apa  saja  yang

dijadikan tanggungan.

iv.  Ukurang,  jumlah,  jenis  dan  kualitas  harta  yang  dipinjamkan

harus  jelas  agar  mudah  untuk  dikembalikan.  Hal  ini  untuk

menghindari perselisihan di antara para pihak yang melakukan

akad qard.

 

D. Ketentuan-Ketentuan Dalam Al-Qardh


    Berikut  ini  adalah  ketentuan  Al-Qardh  secara  umum  menurut  (Fatwa  DSN

No.19/DSN.MUI/IV/2001)


1.  Al-Qardh adalah    pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang

memerlukan.

2.  Nasabah  Al-Qardh  wajib  mengembalikan  jumlah  pokok  yang  diterima  pada

waktu yang telah disepakati bersama.

3.   Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.

4.   Lembaga Keuangan Syariah dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana

dipandang perlu.

5.  Nasabah Al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) senang sukarela

kepada Lembaga Keuangan Syariah selama tidak diperjanjikan diawal.

6.  Jika  nasabah  tidak  dapat  mengembalikan  sebagian  atau  seluruh  kewajibanya

pada  saat  yang  telah  disepakati  dan  Lembaga  Keuangan  Syariah  telah

memastika ketidak mampunya Lembaga Keuangan Syariah dapat:

                                i.            Memperpanjang jangka waktu pengembalian atau,

                              ii.            Menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibanya.






Dimas Ilham Yudhistira 63040190164

Salatiga, November 2020



Selasa, 10 November 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok III : Hadist Tentang Rahn ( Gadai )

Hadist Tentang Rahn ( Gadai )

Dalam hal jual beli sungguh beragam, bermacam-macam cara untuk mencari uang dan salah satunya dengan cara Rahn (gadai). Para ulama berpendapat bahwa gadai boleh dilakukan dan tidak termasuk riba jika memenuhi syarat dan rukunnya. Akan tetapi banyak sekali orang yang melalaikan masalah tersebut sehingga tidak sedikit dari mereka yang melakukan gadai asal- asalan tanpa mengetahui dasar hukum gadai tersebut.


A.    Pengertian Gadai (Rahn)

Gadai (rahn) atau gadai syariah adalah menahan barang jaminan yang bersifat materi milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atau pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomi sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.


B.     Landasan Hukum Gadai (Rahn)

Aisyah Radhiyallahu ‘Anha berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah membeli makanan dari orang Yahudi dengan tempo (kredit) dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi.” (HR Bukhari II/729 (no.1962) dalam kitab Al-Buyu‟, dan Muslim III/1226 (no. 1603)

dalam kitab Al-Musaqat)

C.     Rukun, dan Syarat Gadai (Rahn)


Rukun-rukun gadai (Rahn)

1.      Ijab Qabul (sighat)

2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)

3.      Adanya barang yang digadaikan (Marhun)

4.      Hutang (Marhun Bih)

Syarat-syarat Gadai Syariah (ar-Rahn)

1.      Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum.

2.      Syarat shigat (lafal).

3.      Syarat al-marhun bihi (utang) Syarat al-marhun (barang yang dijadikan jaminan)


D.    Jenis-jenis Gadai (Rahn)


      Rahn Shahih / lazim, yaitu rahn yang benar karena terpenuhi syarat dan rukunnya. Apabila sebuah akad rahn telah terpenuhi rukun dan syaratnya maka membawa dampak yang harus dilakukan oleh murtahin dan juga rahi. Rahn Fasid, yaitu akad rahn yang tidak terpenuhi rukun dan syaratnya. Sedangkan pada rahn yang fasid maka tidak ada hak ataupun kewajibann yang terjadi, karena akad tersebut telah rusak / batal. Para imam madzhab fiqh telah sepakat mengenai hal ini.

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok II : Hadist Tentang Bagi Hasil (Mudharabah. Musyarakah)

HADIST TENTANG BAGI HASIL (MUDHARABAH,MUSYARAKAH)

Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang, Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba(bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).

Bagian A

1.      Pengertian Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. secara tehnis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak kedua menjadi pengelola.

2.      Landasan Hukum Mudharabah

Dalam Hadis Nabi Hadis Nabi riwayat Thabrani: “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).

3.      Macam-Macam Mudharabah

a)      Mudharabah Mutlaqah

Mudharabah mutlaqah yaitu penyerahan modal tanpa syarat. Pengusaha atau mudharib bebas mengelola modal itu dengan usaha apa saja yang menurutnya akan mendatangkan keuntungan dan di daerah mana saja yang mereka inginkan.

b)      Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah muqayyadah yaitu penyerahan modal dengan syarat-syarat tertentu. Dalam akad dicantumkan bahwa modal tersebut hanya untuk usaha yang telah ditentukan (terikat pada usaha tertentu). Pengusaha atau nasabah harus mengikuti syarat-syarat yang dikemukakan oleh pemilik modal, selain dari syarat-syarat yang dikemukakan maka dana shahibul maal tidak diperkenankan untuk dipakai.

Jenis mudharabah muqayyadah ini dibedakan menjadi dua yaitu:

1)      Mudharabah Muqayyadah On Balance Sheet (investasi terikat)

Pemilik dana (shahibul maal) membatasi atau memberi syarat kepada mudharib dalam penglolaan dana

2)      Al Mudharabah Muqayyadah Of Balance Sheet

Dimana penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha.

4.      Syarat dan Rukun Mudharabah

a)      Syarat Mudharabah

1.      Masing-masing pihak memenuhi persyaratan kecakapan wakalah.

2.      Modal (ra’s al-mal) harus jelas jumlahnya, berupa tsaman (harga tukar) tidak berupa barang dagangan, dan harus tunai dan diserahkan seluruhnya kepada pengusaha.

3.      Prosentase keuntungan dan periode pembagian keuntungan harus dinyatakan secara jelas berdasarkan kesepakatan bersama. Sebelum dilakukan pembagian seluruh keuntungan milik bersama.

4.      Pengusaha berhak sepenuhnya atas pengelolaan modal tanpa campur tangan pihak pemodal. Sekalipun demikian pada awal transaksi pihak pemodal berhak menetapkan garis-garis besar kebijakan pengelolaan modal.

5.      Kerugian atas modal ditanggung sepenuhnya oleh pihak pemodal. Sedangkan pihak pekerja atau pengusaha sama sekali tidak menanggungnya, melainkan ia menanggung kerugian pekerjaan.

b)      Rukun Mudharabah

1.      Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha).

2.      Obyek mudharabah (modal dan kerja).

3.      Persetujuan kedua belah pihak (ijab-qabul)

5.      Manfaat Mudharabah

1.      Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat usaha nasabah meningkat.

2.      Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak pernah mengalami negatif spread.

3.      Pengembangan pokok pembiayaan disesuaikan dengan cosh flow atau arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.

4.      Bank atau lembaga keuangan syariah lainnya akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan, karena keuntungan yang kongkret dan benarbenar terjadi itulah yang akan dibagikan.

5.      Prinsip bagi hasil dalam mudharabah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank atau lembaga keuangan konvensional (non bank) akan menagih penerima pembiayaan dalam jumlah bungatetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi

Bagian B

1.      Pengertian Bagi Hasil

Bagi hasil menurut terminologi asing (inggris) dikenal dengan profit sharing. Profit sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara istilah profit sharing merupakan distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.

Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi secara proporsional antara shohibul al-maal dan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, bukan untuk kepentingan pribadi mudharib, dapat dimasukkan ke dalam biaya operasional.

2.      Perbedaan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil

Sistem bunga, ditentukan menggunakan bentuk presentase besaran kredit utang. Sedangkan bagi hasil dintentukan menggunakan rasio atau perbadingan terhadap keuntungan usaha yang dibiayai dari kredit tersebut. Acuan yang dijadikan dasar penghitungan bunga dan bagi hasil juga berbeda.

3.      Jenis Pola Bagi Hasil

a.       Profit sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil net dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

b.      Revenue sharing, adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pandapatan tersebut.

4.      Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil

1)      Faktor Langsung

a.       Investment rate, merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana.

b.      Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan.

c.       Nisbah (profit sharing ratio)

Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan disetujui pada awal perjanjian. Nisbah antara satu bank dang bank lainnya dapat berbeda

2)      Faktor Tidak Langsung

a.       Penentuan biaya dan pendapatan mudharabah

b.      Kebijakan akuntansi (prinsip dan metode akuntansi)

5.      Ketentuan Bagi Hasil

a.       Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana.

b.      Dana disetor penuh kepada bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal.

c.       Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah.

6.      Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah

Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :

a.       tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa.

b.      deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.

Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah  diterapkan untuk :

a.       pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa;

b.    investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).

Bagian C 

1.      Pengertian Musyarakah

Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan risiko berdasarkan porsi kontribusi dana.

2.      Landasan Hukum Syariah Musyarakah

Dalam al-hadist , Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata: “Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah). Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” 

3.      Macam-macam Musyarakah

Musyarakah ada dua jenis, yaitu:

a.       Musyarakah kepemilikan terjadi karenawarisan, wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.

b.      Musyarakah akad terbagi menjadi :

1.      Syirkah al-‘inan

2.      Syirkah al-mufawwadhah

3.      Syirkah al-a’mal

4.      Syirkah al-wujuh

4.      Syarat dan Rukun Musyarakah

Syarat-syarat Akad Musyarakah

1)      Pihak yang bermitra harus mengungkapkan izin masing-masing

2)      Setiap mitra harus saling percaya antara satu sama lain

3)      Harta musyarakah harus dicampur semuanya agar tidak bisa dibedakan lagi siapa pemiliknya, baik harta itu berupa uang atau pun barang.

Rukun-rukun Akad Musyarakah

1)      Aqidani (dua pihak yang berakad)

2)      Ijab Qabul (ucapan serah terima yang dilakukan oleh pihak yang berakad)

3)      Ma'qud 'alaih (barang yang diakadkan)

5.      Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah

1)      Pembiayaan Proyek

Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

2)      Modal Ventura

Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap

6.      Manfaat dan Resiko Musyarakah

Manfaat yang diperoleh dari akad musyarakah ini adalah :

1)      Bank akan mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.

2)      Bank tidak berkewajiban menbayar pendanaan secara tetap dalam jumlah tertentu kepada nasabah, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.

3)      Pengembalian pokok pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.

Sedangkan resiko dalam musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :

1)      Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak;

2)      lalai dan kesalahan yang disengaja;

3)      Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.

Mudharabah dan musyarakah berbeda pada beberapa hal sebagaimana berikut :

Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, dan dalam manajemen shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan. Bagi hasil diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan. Sedangkan dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation) dan masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila usaha merugi, maka kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut karena musyarakah menganut azas profit and loss sharing contract.

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok X : Hadits Tentang Wakalah

  Hadist Tentang Wakalah A.     Pengertian Wakalah  Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti  menyerahkan atau mewak...