RESUME HADIST TENTANG ARIYAH
A. Pengertian Al-Ariyah
Al ariyah berasal dai bahasa Arab (العا ر ية)
diambil dari kata (عار) yang berarti datang atau pergi. Menurut sebagian pendapat
al-ariyah berasal dari kata (ال تعاور) yang artinya sama dengan (ال تناوب ا ال تناول) artinya saling tukar menukar, yaitu dalam tradisi
pinjam-meminjam. Sedangkan menurut istilah dapat dikatakan suatu kegiatan
muamalah yang memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada orang lain untuk
diambil manfaatnya, dengan tidak merusak zatnya agar tetap dapat dikembalikan
kepada pemiliknya.
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan hak kebendaan (zekelijkrect) adalah hak mutlak atas suatu benda tersebut, dimana hak tersebut memberikan kekuasaan langsung pada pemiliknya. Dalam ketentuan kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 dijumpai ketentuan yang berbunyi sebagai berikut : “pinjammeminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
B. Rukun dan Syarat
‘Ariyah
Adapun menurut jumhur ulama‟ dalam
akad „ariyah harus terdapat beberapa unsur (rukun), sebagai berikut:
1. Mu‟ir (orang yang memberikan
pinjaman)
2. Musta‟ir (orang yang mendapatkan
pinjaman)
3. Mu‟ar (barang yang dipinjamkan)
Adapun syarat-syarat „ariyah
berikut dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu orang yang
meminjamkan, barang yang dipinjamkan, dan sighat.
1.
Syarat-syarat orang yang meminjamkan
a. Baligh. ‘Ariyah tidak sah dari anak yang
masih di bawah umur, tetap ulama’ hanfiyah tidak memasukkan baligh sebagai
syarat ‘ariyah, melainkan cukup mumayyiz.
b. Berakan. ‘Ariyah tidak sah apabila dilakukan
oleh orang gila.
c. Tidak mahjur ‘alaih karena boros.
2. Syarat-syarat orang yang
meminjam
Orang yang meminjam harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a.
Orang yang meminjam harus jelas.
b. Orang yang meminjam harus
memiliki hak tasarruf atau memiliki ahliyatul ada’
3. Syarat-syarat barang yang dipinjam
Barang yang dipinjam harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a.
Barang tersebut bisa diambil manfaatnya, hak pada waktu sekarang atau
nanti. Dengan demikian, barang yang tidak bisa diambil manfaatnya, seperti
mobil yang mogok, tidak boleh dipinjamkan.
b. Barang yang dipinjamkan harus
berupa barang mubah, yakni barang yang dibolehkan untuk diambik manfaatnya
menurut syara’. Apabila barang tersebut diharamkan maka ‘ariyah hukumnya tidak
sah.
c.
Barang yang dipinjamkan apabila diambil manfaatnya tetap utuh. Dengan demikian,
tidak sah meminjamkan makanan dan minuman, sudah pasti akan habis.
4. Shigat, dengan syarat:
Suatu ungkapan yang
dapat menujukan adanya izin untuk memanfaatkan barang yang dipinjam kan seperti
ungkapan “aku pinjamkan kepadamu”. Atau ungkapan yang dapat menunjukan adanya
permohonan untuk meminjamkan barang seperti ungkapan “pinjamkan kepadaku”
dengan disertai ungkapan atau tindakan dari lawan bicaranya.
C. Landasan Hukum tentang Al-‘Ariyah
1. Al-Qur’an
a) Q.S Al-Maidah ayat 2
Dalam surat ini dijelaskan bahwa sebagai umat muslim kita harus saling tolong menolong dalam hal kebaikan.
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syiar-syiar kesucian Allah, dan jangan (melanggar kehormatan) bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) hadyu (hewan-hewan kurban) dan qala'id (hewan-hewan kurban yang diberi tanda), dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam; mereka mencari karunia dan keridhaan Tuhannya. Tetapi apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehlah kamu berburu. Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalanghalangimu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janga tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh. Allah sangat berat siksaan-Nya.
2. Hadist
a) Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa’i
Artinya : Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban.
D. Ragam Akad Al-Ariyah
Konsekuensi memahami dan menjelaskan hakikat al-Ariyah dari sudut pandang yang berbeda, maka para ulama berbeda pendapat dari berbagai persepsinya, antara lain:
1. Makna akad i'arah secara hakiki (bukan majazi)
2. Konsekuensi akad I’arah, menurut
3. Alasan ulama Hanafiah adalah bahwa dalam akad I’arah terkandung akad wakalah yang bersifat mutlak
4. Alasan ulama Syafi’iah & Hanablah adalah bawah akad I ‘arah hanya mengandung izin pemanfaatan (bukan wakalah mutlak).
5. Ulama Hanafiah, Syafi’iah & Hanabilah sepakat bahwa pinjaman tidak boleh menyawakan barang dimaksud kepada orang lain.
1.
Apabila disepakati bahwa barang pinjaman itu hanya boleh digunakan oleh
peminjam,
pinjaman
hanya boleh menggunakan barang untuk kepentingannya
sendiri (peminjam tidak boleh meminjamkannya kepada pihak lain).
2.
Apabila pemilik barang (yang meminjamkan) menentukan waktu atau tempa penggunaan
barang pinjaman, kemudian peminjam melanggarnya, maka peminjam wajib
bertanggung jawab dan melakukan ganti
rugi apabila terjadi kerusakan barang pinjaman.
3.
Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas maksimun atas barang yang boleh
diangkut oleh barang pinjaman (misalnya
barang jaminan berupa kendaraan atau kuda) , kemudian peminjam melanggarnya,
maka peminjam wajib bertanggung jawab dan melakukan ganti rugi apabila terjadi
kerusakan barang pinjaman.
4.
Apabila pihak yang meminjamkan menentukan batas mengenai kondisi daerah
(lokasi) yang (boleh) dapat dilewati atau tempat penyimpanannya (misalnya
barang pinjaman tidak boleh digunakan untuk berkunjung ke daerah konflik atau
kendaraan yang tidak boleh disimpan selain di garasi pada malam hari), kemudian
peminjam melarangnya, maka peminjam wajib bertanggung jawab dan ganti rugi
apabila terjadi kerusakan dan kehilangan barang pinjaman.
E.
Perbedaan antara akad Al-‘Ariyah, Akad Qardh, dan Wadi’ah
1. Akad Qardh, disebut juga akad pinjam
meminjam. Obyek yang pinjam adalah uang (nuqud) atau harta mitsaliyat.
2. Akad Wadi'ah, merupakan akad penitipan barang
(sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyah maupun harta ghair mitsli.
3. Akad Ariyah, disebut juga akad pinjaman.
Obyeknya yang dipinjam adalah barang
(sil'ah/al-ain), baik harta mitsaliyat maupun harta ghair mitsli.
F. Sifat akad Al-‘Ariyah dengan Tanggung Jawabnya
Persoalan
ini para ulama terdapat beragan pendapat, antara lain :
1. Ulama Hanafiah, sebagaimana dijelaskan dalam
kitab al-Mabsuth berpendapat
bahwa
barang pinjaman merupakan amanah yang berada di bawah kekuasaan peminjam, baik
pada saat barang itu dipakai maupun tidak dipakai.
2. Ulama Malikiah, sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Bidayat Al-Mujtahid dan
Hasyiyah
al-Dasuki membagi barang pinjaman menjadi dua : Pertama, barang
pinjaman
yang memungkinkan disembunyikan, seperti pakaian dan perhiasan. Kedua,
barang
pinjaman yang tidak mungkin disembunyikan, seperti binatang dan kendaraan.
3. Ulama Syafi'iah, sebagaimana dijelaskan dalam
kitab al-Muhadzzab & kitab al Majmuk, beliau berpendapat bahwa barang
pinjaman bersifat dhamanah di tangan
peminjam.
Pada
intinya barang pinjaman yang bersifat amanah bagi peminjam. Oleh karena itu
peminjam tidak wajib mengganti barang pinjaman yang rusak atau hilang karena
kelalaian. Dalam kitab al-Bada'i al-Shama'i dijelaskan tentang wajibnya
peminjam mengganti atau membayar harga karena rusak atau hilangnya barang
pinjaman dalam kondisi berikut :
1.
Peminjam secara sengaja menghilangkan
barang pinjaman, misalnya dengan cara
membuangnya,
meminta pihak lain untuk mencurinya, atau tidak menyerahkannya kepada
pemiliknya setelan berakhirnya masa pinjaman.
2.
Lalai dalam menjaga barang pinjaman pada
saat dimanfaatkan atau disewakan.
3. Menggunakanya untuk sesuatu yang tidak disepakati (mukhalafat al-syuruth) atau untuk sesuatu penggunaan yang tidak umum untuk barang pinjaman tersebut.
G.
Karakteristik dalam Akad Al-Ariyah
Akad
al-Ariyah merupakan akad yang bersifat tabarru' karena dalam akad ini pemilik
barang yang dipinjamkan tidak memperoleh
imbalan atas manfaat barang pinjaman yang diterima pihak peminjam. Karenanya para ulama berbeda
pendapat, diantaranya:
1. Ulama Hanafiah & Syafi'iah sepakat bahwa
akad I'arah boleh dilakukan tanpa batas jangka waktu penggunaan barang jaminan.
Konsekuensinya bahwa pihak yang
meminjamkan
boleh memnita kembali barang pinjaman kepada peminjam kapan saja,
baiki
akad I'arahnya yang bersifat mutlak muapun bersifat terbatas.
2. Ulama Malikiah berpendapat bahwa pemberian
pinjaman tidak boleh meminta kembali barang yang pinjamkan, kecuali setelah
peminjam mengambil manfaatnya barang pinjaman tersebut. Apabila pinjaman bersifat
terbatas (waktu), pihak yang meminjamkan tidak boleh mengambil barang pinjaman
sebelum jangka waktunya selesai.
3. Ulama Hanafiah menganalisis pinjaman tanah
dari segi sifat akad i'arah terikat
(muqayyadah) atau tidak terikat (muthlaq).
H.
Berakhirnya Akal Al-Ariyah
Akad
pinjaman dapat berakhir karena beberapa hal, antara lain :
1.
Pemberi pinjaman meminta agar barang pinjaman dikembalikan karena akad pinjaman
termasuk ghairu lazim, sehingga dapat berakhir karena pembatalan (fasakh),
2.
Peminjam mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang
disepakati berakhir atau belum,
3.
Peminjam dan/atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah),
taghoyur (akalnya berubah-ubah), maupun karena berada di bawah pengampunan (dihukum),
4.
Meninggalnya pinjaman atau pemberi pinjaman karena akad pinjaman (sebagian
jumhur ulama) merupakan izin pemanfaatan.
5.
Taflis, bangkrutnya pemberi pinjaman, pihak yang brangkrut tidak boleh
mengabaikan manfaat benda miliknya, terutama yang berkaitan dengan kepentingan
pemberi utang kepadanya.
Pendapat
Pendapat saya mengenai Hadist tentang Ariyah ini adalah Ariyah secara kebahasaan berarti “pinjaman”. Kata ini sudah menjadi satu istilah teknis dalam ilmu fikih untuk menyebutkan perbuatan pinjam meminjam, sebagai salah satu aktivitas antar manusia. Dalam pelaksanaannya , ‘ariyah diartikan sebagai perbuatan pemberian milik untuk sementara waktu oleh seseorang kepada pihak lain, pihak yang memerima pemilikan itu diperbolehkan memanfaatkan serta mengambil manfaat dari harta yang diberikan itu tanpa harus membayar imbalan, dan pada waktu tertentu penerima harta itu wajib mengembalikan harta yang diterimanya itu kepada pihak pemberi. Oleh sebab itu, para ulama biasanya mendefinisikan ‘ariyah itu sebagai pembolehan oleh seseorang untuk dimanfaatkan harta miliknya oleh orang lain tanpa diharuskan memberi imbalan.
Dalam kegiatannnya ariyah memiliki sayarat dan rukun tertentu untuk dipenuhi agar sah akadnya. Berkaitan dengan obyek yang menjadi sasaran transaksi ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Harta yang dipinjamkan harus berada dalam kekuasaan si pemilik, dengan kata lain jika harta yang dipinjamkan bukan miliknya sendiri maka gugurlah transaksi tersebut.
Lebih baik dalam kegiatan ariyah ini, pinjaman tersebut di lunaskan sesuai jadwal agar tidak terjadi kesalah pahaman. Kegiatan ini biasanya menimbulkan keributan apalagi sesama teman atau keluarga