Rabu, 23 Desember 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok X : Hadits Tentang Wakalah

 Hadist Tentang Wakalah


A.    Pengertian Wakalah 

Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti  menyerahkan atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah  pekerjaan wakil (Kasikho, 2000:693). Al-wakalah menurut istilah para  ulama didefinisikan sebagai berikut : 

1. Golongan Malikiyah: 

 “Seseorang menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak  (kewajiban)" 

2. Golongan Hanafiyah: 

 “Seseorang menempati diri orang lain dalam pengelolaan” 

3. Golongan Syafi’iyah: 

"wakalah adalah penyerahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang  lain dalam hal-hal yang bisa diwakilkan pelaksanaannya, agar  dilaksanakan selagi ia masih hidup." 

4. Golongan Hambali:

“permintaan ganti seseorang yang didalamnya terdapat penggantian  hak Allah dan hak manusia” 

5. Imam Taqyuddin Abu Bakr Ibn Muhammad al-Husaini: 

 “Mengumpulkan satu beban kepada beban lain” 

Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud  wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk  mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang  mewakilkan masih hidup (Suhendi, 2010: 233). 

Wakalah dalam pengertian penyerahan, pendelegasian, atau  pemberian mandat juga terdapat dalam kata al-hifzhu yang berarti  pemeliharaan (Sabiq, 2008:120-121). Karena itu penggunaan kata wakalah  atau wikalah dianggap bermakna sama dengan hifzhun. (Sudiarti, 2018)

B.     Hadist Tentang Wakalah 

Sebelum langsung ke haditsnya, ketahuilah bahwasannya ada ayat al Qur’an yang memperbolehkan wakalah. 

 “dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya  di antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka:  sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. mereka menjawab: “Kita  berada (disini) sehari atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi):  “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini).  Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan  membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia lihat manakah makanan  yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan  hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali  menceritakan halmu kepada seorangpun.” (Q.S. Al-Kahfi:19) 

Hadits Bukhari 

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb telah  menceritakan kepada kami Syu'bah dari Salamah bin Kuhail aku  mendengar Abu Salamah bin 'Abdurrahman dari Abu Hurairah  radliallahu 'anhu berkata; Ada seorang laki-laki yang datang menemui  Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk menagih apa yang dijanjikan kepadanya. Maka para sahabat marah kepadanya. Rasulullah  shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Biarkanlah dia karena bagi  orang yang benar ucapannya wajib dipenuhi". Kemudian Beliau  berkata: "Berikanlah untuknya seekor anak unta". Mereka berkata:  "Wahai Rasulullah, tidak ada kecuali yang umurnya lebih tua". Maka  Beliau bersabda: "Berikanlah kepadanya, karena sesungguhnya yang  terbaik diantara kalian adalah yang paling baik menunaikan janji".(HR.  Al-Bukhari dari Abu Huraira No.2306) (Al-Bukhari, TT). 

Penjelasan Hadits-Hadits tentang Wakalah 

1. Dari segi sanad 

Melihat dari beberapa hadis tersebut dapat diketahui bersama bahwa  periwayatan hadis ini berbagai macam jalur, ada yang bersambung dari  Abu Hurairah r.a. diberikan kepada Abu Salamah bin Abdurrahman,  kemudian didengar oleh Salamah bin Kuhail, kemudian diberikan  kepada Syubah, diceritakan kepada Sulaiman bin Harb. Ada yang dari  Abu Hurairah r.a. kepada Abu Salamah kemudian kepada Salamah bin Kuhail kepada Syu‟bah, kemudian diceritakan kepada Wahb bin Jabir,  dan seterusnya diceritakan kepada Muhammad bin Al-Mutsanna. Ada  juga yang dari Abu Hurairah r.a. kepada Salamah, kemudian kepada  Salamah bin Kuhail, kemudian selanjutnya kepada Syu‟bah,  diceritakan kepada Muhammad bin Ja‟far, setelah itu diceritakan  kepada Muhammad bin Basysyar bin Utsman Al-Abdi. Ada pula yang  dari Abu Hurairah r.a. kepada Abu Salamah bin Abdurrahman di Mina, kemudian didengarkan oleh Salamah bin Kuhail, diceritakan kepada  Syu‟bah kemudian diceritakan kepada „Affan.

C.    Rukun dan Syarat Wakalah 

Sekurang-kurangnya terdapat empat rukun wakalah yaitu : Pihak  Pemberi kuasa (muwakkil), Pihak penerima kuasa (wakil), Obyek yang  dikuasakan (taukil) dan Ijab Qabul (sighat). Keempatnya dijelaskan  sebagai berikut: 

a. Orang yang mewakilkan (al-Muwakkil) 

b. Orang yang diwakilkan (al-Wakil) 

c. Obyek yang diwakilkan (Taukil). 

d. Shighat 

D.    Teknis Pelaksanaan Wakalah 

·         Pembagian Wakalah 

Ada beberapa jenis wakalah, antara lain: 

a. Wakalah al muthlaqah, yaitu mewakilkan secara mutlak, tanpa  batasan waktu dan untuk segala urusan. 

b. Wakalah al muqayyadah, yaitu penunjukkan wakil untuk bertindak  atas namanya dalam urusan-urusan tertentu. 

c. Wakalah al ammah, perwakilan yang lebih luas dari al  muqayyadah tetapi lebih sederhana dari al muthlaqah. 

Wakalah  juga diterapkan untuk mentransfer dana nasabah kepada pihak lain. 

·         Praktik wakalah 

E.     Dalam Asuransi Syariah 

Asuransi syariah yang menjalankan akad wakalah bil ujrah  menurut fatwa DSN No. 52/DSN-MUI/III/2006 meliputi asuransi  jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah. ketentuan dalam  akad ini diantaranya : 

1) Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi  dengan peserta. 

2) Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada  perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan  pemberian ujrah (fee). 

3) Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang  mengandung unsur tabungan (saving) maupun unsur tabarru’  (non-saving). 

Selain beberapa hal di atas, akad wakalah juga digunakan perbankan  untuk transaksi sebagai berikut: Transfer Uang, Kliring, RTGS, Inkaso,  Pembayaran Gaji, Kartu Kredit, Transaksi sertifikat bernilai (awraaq maaliyah) seperti saham, obligasi, sukuk dll dimana bank menjadi  perantara, pembayaran rutin lainnya seperti zakat, shodaqoh, pembayaran  tagihan dll.  

Pendapat tentang materi Wakalah:

Wakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk  mengerjakan sesuatu dimana perwakilan tersebut berlaku selama yang  mewakilkan masih hidup (Suhendi, 2010: 233). Wakalah ini sangat berguna jika seseorang yang sudah meninggal mempunyai utang terhadap yang masih hidup, karena wakalah akan membantu transaksi tersebut. Wakalah juga sangat membantu transaksi di perusahaan-perusahaan besar seperti perusahaan Asuransi Syariah dengan menerapkan Wakalah bil Ujrah.

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok IX : Hadits Tentang Al-Sharf

Hadist Tentang Al-Sharf



A.    Pengertian Al-Sharf 

Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang), penghindaran atau transaksi jual beli. Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta  asing.1 Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang  yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank  mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini. 2Valuta asing disini maksutnya adalah  mata uang luar negri seperti dolar Amerika, Poundsterling, Inggris, Ringgit Malasyia dan  sebagainnya. 3 jenisnya semisal emas dengan perak, dengan menyamakan atau melebihkan antara jenis  yang satu dengan jenis yang lain 

B.     Dasar Hukum Ash-Sharf 

1. Menurut Al-quran 

Dalam Al-quran tidak ada penjelasan mengenai jual beli sharf itu sendiri, melainkan  hanya menjelaskan dasar hukum jual beli pada umumnya yang terdapat dalam surat Al 

Baqarah ayat 275, yaitu: 

 “Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti  berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan  mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),  Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli  dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari  Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah  diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.  orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka;  mereka kekal di dalamnya” 

2. Menurut Al-Hadis 

Para Fuqaha mengatakan bahwa kebolehan melakukan praktek sharf didasarkan pada  sejumlah hadis Nabi yang antara lain pendapat : 

a. Dari Ubadah bin Shamit r.a Nabi SAW. Berkata, “Emas dengan emas, perak dengan  perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam  dengan garam, hendaklah sama banyaknya, tunai dan timbang terima. Apabila  berlainan jenisnya boleh kamu jual kehendakmu asal tunai.” 

b. Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW. Bersabda, “(boleh menjual) emas dengan emas  setimbang, sebanding, dan perak dengan perak setimbang sebanding” (H.R Ahmad,  Muslim dan Nasa’i) 

c. Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, (Boleh menjual) tamar dengan tamar, gandum  dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, garam dengan garam, sama sebanding, tunai  dengan tunai. Barang siapa menambah atau minta tambah maka telah berbuat riba,  kecuali yang berlainan warnanya” (H.R Muslim)

C.    Rukun dan Syarat Al-Sharf 

Rukun dari akad sharf yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :

- Pelaku akad, yaitu ba’I (penjual) adalah pihak yang memiliki valuta untuk dijual, dan  musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli valuta

- Objek akad, yaitu sharf (valuta) dan si’rus sharf (nilai tukar) 

- Shighah yaitu ijab dan qabul 

Sedangkan syarat dari akad sharf, yaitu : 

a. Valuta (sejenis atau tidak sejenis) apabila sejenis, harus ditukar dengan jumlah yang  sama. Apabila tidak sejenis, pertukaran dilakukan sesuai dengan nilai tukar.

 b. Waktu penyerahan (spot). 

c. Al-Tamatsul (Sama rata) 

d. Tidak mengandung akad khiyar syarat 

D.    Batasan-batasan dilakukanya Al-Sharf 

Batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang juga didasarkan dari hadits-hadits  yang dijadikan dasar bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-batasan tersebut adalah :

a. Motif pertukaran adalah dalam rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksiperdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.

b. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu  menyediakan valuta asing yang dipertukarkan. 

c. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau tanpa hak milik (bai’ ainiah) 

Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa tukar menukar uang yang satu  dengan uang yang lain diperbolehkan. Begitu pula memperdagangkan mata uang asalkan  nama dan mata uangnya berlainan atau nilainya saja yang berlainan, namun harus  dilakukan secara tunai. 

E.     Al-Sharf Yang di Perbolehkan dan yang di Larang 

Aktivitas perdagangan valuta asing, harus sesuai dengan norma-norma syari’ah,  antara lain harus terbebas dari unsur riba, maisir, gharar. Karena itu perdagangan valas harus  memperhatikan batasan sebagai berikut : 

a. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak  harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.

b. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain, tidak  dibenarkan jual beli tanpa hal kepemilikan. 

c. Penukaran harta atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang  dilakukan antara kedua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka  sama suka.

d. Rukun dan syarat jual beli harus sempurna jika tidak maka dianggap batal. 

e. Serah-terima dilakukan secara langsung dan tunai. 

F.     Dampak Al-Sharf Bagi Suatu Negara 

Transaksi jual beli valuta asing pada umumnya diselenggarakan dipasar valuta asing,  money changer, bank devisa dan perusahaan bisnis valas. Perdagangan valas menimbulkan  dampak negatif bagi perekonomian suatu negara, anta lain menimbulkan ketidak stabilan  nilai tukar mata uang. Sehingga menggusarkan para pengusaha dan masyarakat umum, malah  kegiatan jual beli valas cenderung mendorong jatuhnya nilai mata uang, karena para spekulah  sengaja melakukan rekayasa pasar agar nilai mata uang suatu negara berfluktuasi secara  tajam. Bila nilai mata uang anjlok, maka secara otomatis, rusaklah suatu negara tersebut  dengan ditandai dengan naiknnya harga barang-barang atau terjadinya inflasi secara tajam.  Sedangkan inflasi adalah realitas ekonomi yang tidak diinginkan dalam ekonomi Islam. 

Akibat lainnya adalah goncang dan ambruknya perusahaan yang tergantung pada  bahan impor yang pada gilirannya mengakibatkan kesulitan operasional dan sering  menimbulkan PHK dimana-mana. Demikian pula, suku bunga pinjaman perbankan menjadi  tinggi. APBN harus direvisi karena disesuaikan dengan dolar. Defisit APBN pun semakin  membengkak secara tajam. 

Demikianlah keburukan jatuhnya nilai mata uang rupiah yang dipicu oleh permintaan  spekulasi dan mata uang yang berfluktuasi secara liar, amat dilarang dalam islam.

Pendapat tentang materi Al-Sharf :

 Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang), penghindaran atau transaksi jual beli. Sharf adalah jual beli suatu valuta dengan valuta  asing.1 Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan denga
n prinsip sharf. Daripada itu kegiatan jual beli ini sebaiknya tidak dilakukan dalam sebuah perusahaan besar maupun UMKM, karena mengakibatkan jatuhnya nilai mata uang rupiah yang dipicu oleh permintaan spekulasi dan uang yang berflukutuasi secara liar.

  

  

 


Jumat, 18 Desember 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok VIII : Hadist Tentang Salm Dan Istishna’

Hadist Tentang Salm Dan Istishna' 

A.  Pengertian Salam

    Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah menjelaskan, salam adalah akad atas barang pesanan dengan spesifikasi tertentu yang ditangguhkan penyerahannya pada waktu tertentu, dimana pembayaran dilakukan secara tunai di majlis akad. Untuk hal ini para fuqaha menamainya dengan Al-Mahawi’ij yang artinga “barang mendesak”, sebab dalam jual beli ini barang yang menjadi objek perjanjian jual beli tidak ada ditempat, sementara itu kedua belah pihak telah sepakat untuk melakukan pembayaran terlebih dahulu. Dalam perjanjian As-Salam ini pihak pembeli barang disebut As-Salam , pihak penjual disebut Al-Muslamuilaihi , dan barang yang dijadikan objek disebut Al-Muslam Fiih , serta harga barang yang diserahkan kepada penjual disebut Ra’su Maalis Salam .

Adapun yang menjadi dasar hukum pembolehan perjanjian jual beli dengan pembayaran yang didahulukan ini disandarkan pada surat Al-Baqarah ayat 282

“”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.

    Disamping itu terdapat juga ketentuan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang artinya berbunyi “”Siapa yang melakukan salaf, hendaklah melaksanakannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai dengan batas waktu tertentu. Dari ketentuan hukum diatas, jelas terlihat tentang pembolehan pembayaran yang didahulukan. Dengan melakukan transaksi salam, maka petani dan peternak dapat mengambil manfaat tersebut.


B. Dasar Hukum Salam

1. Surat Al-Baqarah: 282 yaitu:
    “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.

2. Hadis Jual Beli Salam
    “Ibn Abbas menyatakan bahwa ketika Rasul datang ke Madinah, penduduk Madinah melakukan jual beli salam pada buah-buahan untuk jangka satu tahun atau dua tahun. Kemudian Rasul bersabda: Siapa yang melakukan salam hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai batas waktu tertentu”. (Muslich, 2015: 243).

3. Ijma’
    Kesepakatan ulama’ (ijma’) akan bolehnya jual beli salam dikutip dari pernyataan Ibnu Mundzir yang mengatakan bahwa semua ahli ilmu telah sepakat bahwa jual beli salam diperbolehkan, karena terdapat kebutuhan dan keperluan untuk memudahkan urusan manusia.


C. Rukun dan Syarat Salam

Menurut Sulaiman Rasjid dalam bukunya berjudul Fiqh Islam, rukun jual beli salam adalah sebagai berikut :

I. Muslam (pembeli)
II. Muslam ilaih (penjual)
III. Modal atau Utang
IV. Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
V. Shigat adalah ijab dan qabul

Syarat-syarat Salam :

I. Uangnya hendaklah dibayar di tempat akad.
II. Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.
III. Barangnya menjadi hutang bagi si penjual.
IV. Diketahui dan disebutkan sifat-sifat barangnya.

V. Disebutkan tempat menerimanya, kalau tempat akad tidak layak buat menerima barang tersebut.


D. Teknik Pelaksanaan Salam

    Ada salam jenis lain yaitu salam paralel. Akad ini mengesahkan akad salam yang lain. Akad salam pertama dipersingkat untuk memudahkan akad salam kedua, namun tidak ada kaitan yang saling bergantung di antara kedua akad salam tersebut. Bank kemudian akan menerimanya pada waktu yang ditentukan melalui wakil yang ditunjuknya.


E. Pengertian Istishisna’

    Istishna secara etimologi adalah masdar dari sitashna ‘asy-syai, artinya meminta membuat sesuatu. Yakni meminta kepada pembuat untuk mengerjakan sesuatu. Objek transaksinya adalah bahan yang harus dikerjakan dan pekerjan pembuatan barang itu. Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah , Istisna adalah jual beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan cara kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan penjual. Istisna adalah akad jual beli atas dasar pesanan antar nasabah dan bank dengan spesifikasi tertentu yang diminta oleh nasabah.


F.  Subjek Istishisna’


-Pokok kontrak : Mashnu’, barang ditangguhkan dengan spesifikasi.
-Bisa di awal, tangguh, dan di akhir.
-Mengikat secara ikutan : Menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak ditinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.


G. Dasar Hukum Istghisna’

Al-Quran

    Pembiayaan istishna di atur dalam Al-Quran (Qs. Al-Baqarah: 275) Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,”


As-Sunnah
As-Sunnah dalam pembiayaan istishna yaitu :

Artinya : “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa rajaraja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (HR. Muslim) Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna‟ adalah akad yang dibolehkan.

-Al Ijma’

    Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara defakto telah bersepakat merajut konsensus (ijma’) bahwa akad istishna’ adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulama pun yang mengingkarinya.


H. Rukun dan Syarat Istisghna’

Rukun dari akad Istishna’ yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :

I. Pelaku akad, mustasni’ (pembeli)
II. objek akad, yaitu barang atau jasa (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harga (tsaman)
III. Shighah, yaitu ijab dan qobul


I. Dalil Tentang Istisghna’

“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.” (Qs. Al Baqarah: 275)

    Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau.” (Riwayat Muslim)


J. Teknik Pelaksanaan Istisghna’

    Adapun Paralel istisna adalah bukan Istisna yang umumnya berjalan di tengah masyarakat. Produk barang yang dibuatnya adalah mengacu pada ciri-ciri barang yang telah disepakati pada akad pertama, dimana bank pada saat itu adalah sebagai pihak yang meminta untuk dibuatkan. Posisi bank dalam akad istisna yang pertama, dianggap sebagai penanggung biaya pada istisna paralel, sehingga bank berhak mendapatkan untung.


Pendapat tentang Materi Hadist Tentang Salm Dan Istishna’

    Menurut saya,sebenarnya sistem jual beli sudah ada sejak jaman Rasulullah dulu, dan itu merupakan sebuah ajaran yang dibenarkan jika pelaksanaanya dilakukan baik dan benar. menjalankan jual beli dengan niat untuk ibadah akan menjadikan keberkahan dalam pelaksanaannya. dan tentunya harus sesuai dengan hukum syariat islam yang telah ditetapkan.

Kamis, 10 Desember 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok VII : Hadist Tentang Ijarah

RESUME HADIST TENTANG IJARAH

A. PENGERTIAN IJARAH 

Menurut bahasa kata ijarah berasal dari kata “al-ajru”yang berarti “al-iwadu”(ganti) dan oleh sebab itu “ath-thawab”atau (pahala) dinamakan ajru (upah). 
Menurut etimologi, Ijarah adalah (menjual manfaat). Demikian pula artinya menurut terminologi syara’. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan dikemukakan beberapa definisi ijarah menurut pendapat beberapa ulama fiqih :

a) Ulama Hanafiyah “ Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b) Ulama Asy-Syafi’iyah “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentudan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu."
c) Ulama Malikiyah dan Hanabilah “ Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubahdalam waktu tertentu dengan pengganti."

B. DASAR HUKUM IJARAH

Hukum ijarah dapat diketahui dengan mendasarkan pada teks-teks al-Qur‟an, hadist-hadist Rasulullah, dan Ijma‟ ulama fikih sebagai berikut:

1. Al - Qur'an

a) Qs. Al-Baqarah : 233
Ayat tersebut menerangkan bahwa setelah seseorang memperkerjakan orang lain hendaknya memberikan upahnya. Dalam hal ini menyusui adalah pengambilan manfaat dari orangyang dikerjakan. Jadi, yang dibayar bukan harga air susunya melainkan orang yang dipekerjakannya. Dalam ayat Al-Quran lainnya disebutkan dalam.
b) QS. An-Nahl : 97
Didalam ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama, dan Allah akan memberikan imbalan yang setimpal dan lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.
c) QS. Az-Zukhuf; 32
Lafadz “Sukhriyyan”yang tepat dalam ayat di atas bermakna saling menggunakan. Namun pendapat Ibnu Katsirdalam buku Pengantar Fiqih Muamalah karangan Diyamuddin Djuwaini , lafaz ini diartikan dengan supaya kalian saling mempergunakan satu sama lain dalam hal pekerjaan atau yang lain. Terkadang manusia membutuhkan sesuatu yang berada dalam kepemilikan orang lain, dengan demikian orang tersebut bisa mempergunakan sesuatu itu dengan cara melakukan transaksi, salah satunya adalah dengan ijarah atau upah-mengupah.

2. Hadist

a) “Ðari Abdullah bin „Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
b) Terdapat juga pada Hadist riwayat Abd Razaq dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya” (HR.Abd Razaq dari Abu Hurairah)
c) Dalam hadist riwayat Bukhari : “Di riwayatkan dari Ibnu Abbas RA. Bahwasanya Rasulullah SAW, pernah berbekam, kemudiaan memberikan kepada tukang bekam tersebut upahnya” (HR.Bukhari)"

3. Ijma'

Para ulama sepakat bahwa ijarah itu dibolehkan dan tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyariatkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah. 

C. TEKNIS PELAKSANAAN IJARAH

1. Rukun dan Syarat Ijarah

Rukun Ijarah
Menurut Hanafiyah, rukun dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul, yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan meyewakan. Sedangkan menurut jumhur ulama, Rukun-rukun dan syarat ijarah ada empat, yaitu Aqid(orang yang berakad), sighat, upah, dan manfaat.

a) Aqid (Orang yang berakad)
Orang yang melakukan akad ijarahada dua orang yaitu mu’jir dan mustajir.Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan. Sedangkan Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu.
b)Sighat Akad
Yaitu suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul adalah permulaan penjelasan yang keluar dari salahseorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad ijarah.
c) Ujrah(upah)
Ujroh yaitu sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir.
d) Manfaat
Di antara cara untuk mengetahui ma’qud alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.

Syarat Ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat-syarat ijarah adalah:
- Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi‟i Dan Hambali). Dengan demikian apabila orang itu belum atau tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila menyewa hartanya, atau diri mereka sebagai buruh (tenaga dan ilmu boleh disewa), maka Ijarahnya tidak sah. 
- Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad Ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah.

2. Macam-macam Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua macam, yaitu sebagai berikut:
- Ijarah atas manfaat, disebut juga sewa-menyewa
- Ijarah atas pekerjaan, disebut juga upah-mengupah

3. Hukum Ijarah Atas Pekerjaan (Upah-mengupah)
Ijarah atas pekerjan atau upah mengupah adalah suatu akad ijarah untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Ajir atau tenaga kerja ada dua macam, yaitu: 
- Ajir(tenaga kerja) khusus, yaitu orang yang bekerja pada satu orang untuk masa tertentu. Dalam hali ini ia tidak boleh bekerja untuk orang lain selain orangyang telah mempekerjakannya.
- Ajir(tenaga kerja) musytarak, yaitu orang yang bekerja untuk lebih darisatu orang sehingga mereka bersekutu di dalam memanfaatkan tenaganya.

4. Berakhirnya akad Ijarah
Para ulama fiqh meyatakan bahwa akad al-ijarahakan berakhir apabila:
- Objek hilang atau musnah, seperti rumah terbakar atau baju yang di jahitkan hilang. -- Tenggang waktu yang di sepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir. Apabila yang disewakan itu rumah, maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya, dan apabila yang disewa itu adalah jasa seseorang maka ia berhak menerima upahnya. Kedua hal ini disepakati oleh seluruh ulama fiqh.
- Menurut ulama hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad. Karena akad alijarahmenurut mereka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad al-ijarahtidak batal dengan afatnya salah seorang yang berakad. 

Pendapat

Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru (upah) yang berarti al-iwadh (ganti/kompenasi).
Menurut pengertian syara’ ijarah berarti akad pemindahan hak guna dari barang atau jasa yang diikuti dengan pembayaran upah atau biaya sewa tanpa disertai dengan perpindahan hak milik.
Berarti Ijarah ini bisa dibilang tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya perpindahan hak guna saja dari yang menyewakan pada penyewa.
Dalam hukum Islam ada dua jenis Ijarah:
a. Ijarah yang berhubungan dengan sewa jasa, yaitu mempekerjakan jasa seseorang dengan upah sebagai imbalan jasa yang disewa.
b. Ijarah yang berhubungan dengan sewa asset atau properti, yaitu memindahkan hak untuk memakai dari asset tertentu kepada orang lain dengan imbalan biaya sewa


Selasa, 01 Desember 2020

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Makalah Kelombok VI : Hadist Tentang Hiwalah

MAKALAH 
HADITS TENTANG HIWALAH 

Disusun untuk memenuhi tugas 
Mata Kuliah: Hadits 
Dosen Pengampu: Ahmad Muzakkil Anam, M.Pd.I. 
Disusun Oleh: 
1. Dimas Ilham Y. (63040190164) 
2. Agung Saputro (63040190167) 
3. Salwa Zakiyah N. (63040190184) 
4. Bening Hanny C. (63040190187) 
KELAS 3E 
PROGRAM STUDI MANAGEMEN BISNIS SYARIAH 
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM 
IAIN SALATIGA TAHUN 2020


KATA PENGANTAR 

    Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “HADITS TENTANG HIWALAH” ini. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah hadits. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
 
    Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri. 
Salatiga, November 2020 


Penulis 


DAFTAR ISI 
Kata Pengantar ii 
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang  1 
B. Rumusan Masalah 1 
C. Tujuan 1 
BAB II PEMBAHASAN 
A. Pengertian, Rukun, dan Syarat Hiwalah  2 
B. Hadits tentang Hiwalah 5
C. Teknis Pelaksanaan Hiwalah 7 
BAB III PENUTUP 
A. Kesimpulan  10 
B. Saran 10 
DAFTAR PUSTAKA 

BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 

    Islam adalah agama yang sempurna. Dengan demikian Islam telah mengatur cara hidup manusia dengan sistem yang serba lengkap. diantaranya, bermuamalah kepada sesama manusia. Di antara muamalat yang telah diterapkan kepada kita ialah Al Hiwalah. Al Hiwalah merupakan sistem yang unik, yang sesuai untuk diadaptasikan kepada manusia. Hal ini karena al Hiwalah sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia. 
    Al hiwalah sering berlaku dalam permasalahan hutang piutang. Maka salah satu cara untuk menyelesaikan masalah hutang piutang dalam muamalah adalah al hiwalah. Al Hiwalah bukan saja digunakan untuk menyelesaikan masalah hutang piutang,akan tetapi bisa juga digunakan sebagai pemindah dana dari individu kepada individu yang lain atau syarikat dan firma. sebagai mana telah digunakan oleh sebagian sistem perbankan. 
    Dalam hal ini penulis berkesempatan untuk mengkaji tentang al Hiwalah.yang berkaitan dengan definisi, dalil yang berkaitan, rukun dan syarat. Penulis juga akan membicarakan mengenai al Hiwalah di dalam sistem perbankan dan hal lain yang berkaitan dengan hiwalah. 

B. Rumusan Masalah 
1. Apa yang dimaksud dengan hiwalah dan apa syarat hiwalah? 
2. Apa saja hadits-hadits tengang hiwalah? 
3. Bagaimana teknis pelaksanaan hiwalah? 

C. Tujuan 
1. Mengetahui pengertian hiwalah serta rukun dan syarat hiwalah. 
2. Memahami hadits-hadits tengang hiwalah. 
3. Memahami teknis pelaksanaan hiwalah. 

 BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian, Rukun, dan Syarat Hiwalah 

1. Pengertian Hiwalah 
    Secara bahasa hiwalah diambil dari kata tahawwul yang artinya berpindah. Dinamakan demikian karena akad ini memindahkan utang dari tanggungan seseorang menjadi tanggungan orang lain. Secara etimologi pengalihan hutang dalam hukum Islam disebut sebagai hiwalah yang mempunyai arti lain yaitu al-intiqal dan at-tahwil, artinya adalah memindahkan atau mengalihkan. 
Hiwalah secara istilah, para Ulama’ berbeda-beda dalam mendefinisikannya, antara lain sebagai berikut:
 a) Menurut Hanafi, yang dimaksud hiwalah.
 نقل المطا لبة من دمة المديون إلى دمة الملتزم 
“Memidahkan tagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tanggung jawab pula”. 
b) Al-jaziri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah: 
نقل الدين من دمة إلى دمة 
“Pemindahan utang dari tanggung jawab seseorang menjadi tanggung jawab orang lain”. 
c) Syihab al-din al-qalyubi bahwa yang dimaksud dengan Hiwalah adalah:
 عقد يقتضى انتقال دين من دمة إلى دمة 
“Akad yang menetapkan pemindahan beban utang dari seseorang kepada yang lain”.  
d) Muhammad Syatha al-dimyati berpendapat bahwa yang dimaksud Hiwalah adalah:
عقد يقتضى تحويل دين من دمة إلى دمة
“Akad yang menetapkan pemindahan utang dari beban seseorang menjadi beban orang lain”.
e) Ensiklopedi hukun islam 
    Menurut Ensiklopedi Hukum Islam Pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan pihak pertama kepada pihak kedua untuk menuntut pembayaran hutang atau membayar hutang dari atau kepada pihak ketiga, karena pihak ketiga berutang kepada pihak pertama dan pihak pertama berutang kepada pihak kedua atau karena pihak pertama berutang kepada pihak ketiga disebabkan pihak kedua berutang kepada pihak pertama. Perpindahan itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran yang ditegaskan dalam akad ataupun tidak didasarkan kesepakatan bersama”.

2. Rukun dan Syarat Hiwalah     
    Menurut Hanafiyah, rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan qabul yang dilakukan antara yang menghiwalahkan dengan yang menerima hiwalah. 
Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, rukun hiwalah ada enam yaitu 
a. Muhil (orang yang memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang). 
b. Muhal (orang yang dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai piutang). 
c. Muhal‘alaih (orang yang dipindahkan kepadanya obyek penagihan atau orang yang dihiwalahi yaitu orang yang berkewajiban melaksanakan hiwalah) 
d. Muhal bih (hak yang dipindahkan yaitu hutang muhil kepada muhal) 
e. Hutang muhal‘alaih kepada muhil 
f. Shighat hiwalah (pernyataan hiwalah yaitu, ijab dan qabul. Ijab dari muhil dengan kata-katanya “aku hiwalahkan hutangku kepada si fulan”. Dan qabul adalah dari muhal‘alaih dengan kata-katanya “aku terima hiwalah engkau”)
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa perbuatan hiwalah menjadi sah apabila terpenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan pihak pertama, pihak kedua, dan pihak ketiga, serta yang berkaitan dengan utang itu sendiri. 
Adapun syarat-syarat hiwalah menurut para fuqaha adalah: 
1. Syarat yang diperlukan pada muhil (orang yang mengalihkan hutang) adalah: 
    a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, yaitu baligh dan berakal. Hiwalah tidak sah jika dilakukan oleh anak-anak, meskipun ia sudah mengeri (mumayyiz), ataupun dilakukan oleh orang gila. 
    b. Adanya pernyataan persetujuan atau kerelaan (ridla). Jika muhil dipaksa untuk melakukan hiwalah, maka akad tersebut tidak sah. Adanya persyaratan ini berdasarkan pertimbangan bahwa sebagian orang merasa keberatan dan terhina harga dirinya jika kewajibannya untuk membayar hutang dialihkan kepada pihak lain, meskipun pihak lain itu memang berutang padanya.
2. Syarat yang diperlukan pada muhal (orang yang memberi hutang) adalah:
    a. Cakap melakukan tindakan hukum, yaitu baligh dan berakal, sebagaimana muhil. 
    b. Mazhab Hanafi, sebagian besar mazhab Maliki dan Syafi’i mensyaratkan adanya persetujuan muhal terhadap muhil yangmelakukan hiwalah. 
3. Syarat yang diperlukan bagi muhal ‘alaih adalah 
    a. Cakap melakukan tindakan hukum dalam bentuk akad, sebagaimana syarat pada kedua pihak sebelumnya. 
    b. Mazhab Hanafi mensyaratkan adanya pernyataan persetujuan dari pihak muhal ‘alaih. Sedangkan ketiga mazhab lainnya tidak mensyaratkan hal itu.  
    c. Imam Abu Hanifah dan Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani menambahkan bahwa qabul (pernyataan menerima akad) tersebut dilakukan dengan sempurna oleh pihak ketiga di dalam suatu majelis akad.  

B. Haidts Tentang Hiwalah 
    Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong-menolong yang merupakan bentuk manifestasi dari semangat ayat tersebut. Landasan syariah Hawalah: Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sabda Rosullah saw:
“Dari Abu Khurairah Radhiyallah Anhu, bahwa Rasulullah Shallahhu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘penundaan pembayaran utang oleh orang kaya adalah kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian diminta untuk mengalihkan utang kepada orang kaya, maka hendaklah dia menerimanya,. (HR Bukhari-Muslim).
    Pada hadits ini Rasulullah memerintahkan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghiwalahkan kepada orang yang kaya dan berkemampuan, hendaklah ia menerima hiwalah tersebut, dan hendaklah ia mengikuti (menagih) kepada orang yang dihiwalahkannya (muhal'alaih), dengan demikian hakknya dapat terpenuhi (dibayar). 
Hiwalah merupakan suatu akad yang dibolehkan oleh syara’ karena dibutuhkan oleh masyarakat.hal ini didasarkan pada hadis nabi yang diriwayatkan dari abu hurairah bahwa rasul saw bersabda
 الغن ظلم ,وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع ُي مطل 
Artinya: 
“Menunda-nunda pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang diantara kamu di ikutkan (dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah” (HR bukhori dan mislim). 
Akad hiwalah diperbolehkan berdasarkan sunnah dan ijma’ ulama’. Diriwayatkan dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah: 
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ibnu Dzakwan dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallohu ‘anhu dari Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah ia ikuti”. 
    Pada hadits tersebut, Rasulullah memberitahukan kepada orang yang menghutangkan, jika orang yang berhutang menghawalahkan kepada orang yang mampu, hendaklah ia menerima hawalah tersebut, dan hendaklah ia menagih kepada orang yang dihawalahkan. Dengan demikian haknya dapat terpenuhi. Ulama’ sepakat membolehkan akad hawalah dengan catatan, hawalah dilakukan atas hutang yang tidak berbentuk barang atau benda, karena hawalah adalah proses pemindahan hutang bukan pemindahan bendah. 
    Dalam hadis tersebut Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar pemberi utang apabila diminta oleh pengutangnya menagih kepada orang yang mampu hendaknya menerima hiwalahnya, yakni hendaknya ia meminta haknya kepada orang yang dihiwalahkan kepadanya sampai haknya terpenuhi. Tetapi jika pengutang memindahkan utangnya kepada orang yang bangkrut, maka si pemberi pinjaman berhak mengalihkan penagihan kepada si pengutang pertama. Perintah menerima pengalihan penagihan utang menurut sebagian ulama adalah wajib, namun jumhur ulama berpendapat bahwa hukumnya sunat. 
    Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa hiwalah itu tidak sejalan dengan qias, karena hal itu sama saja jual beli utang dengan utang, sedangkan jual beli utang dengan utang itu terlarang. Pendapat ini dibantah oleh Ibnul Qayyim, ia menjelaskan bahwa hiwalah itu sejalan dengan qias, karena termasuk jenis pemenuhan hak, bukan termasuk jenis jual beli. Ibnul Qayyim mengatakan, “Kalaupun itu jual beli utang 7 dengan utang, namun syara’ tidak melarangnya, bahkan ka’idah-ka’idah syara’ menghendaki harus boleh…dst.”.  

C. Teknis Pelaksanaan Hiwalah 
    Take over berarti mengambil alih, atau dalam lingkup suatu perusahaan adalah perubahan kepentingan pengendalian suatu perseroan. Terkait itu, take over syariah adalah pembiayaan yang timbul sebagai akibat dari take over terhadap transaksi nonsyariah yang telah berjalan yang dilakukan oleh bank syariah atas permintaan nasabah. Berdasarkan Fatwa Dewan Syari-ah Nasional, take over disebut juga peng-alihan hutang. Pengalihan hutang yang dimaksud disini adalah pengalihan transaksi nonsyariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah. Take over merupakan proses perpindahan kredit nasabah di bank konvensional menjadi pembiayaan dengan prinsip jual beli yang berdasarkan syariah. Pada proses take over ini, bank syariah sebagai pihak yang akan melakukan take over terhadap kredit yang dimiliki calon nasabahnya di bank konven-sional. Bertindak sebagai wakil dari calon nasabahnya untuk melunasi sisa kredit yang terdapat di bank asal, mengambil bukti lunas, surat asli agunan, perizinan, polis asuransi, sehingga barang (yang dikredit-kan) menjadi milik nasabah secara utuh. Kemudian, untuk melunasi hutang nasabah kepada bank syariah, maka nasabah tersebut menjual kembali (barang yang dikreditkan) tersebut kepada bank syariah. Kemudian, bank syariah akan menjual lagi kepada nasabah dengan pilihan kombinasi akad yang tertera dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 31/DSN-MUI/VI/2002 ten-tang Pengalihan Hutang. 
    Penerapan kontrak hawalah dalam sistem perbankan biasanya di tetapkan pada hal-hal berikut: 
1. Faktoring atau anjak piutang, di mana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank, bank lalu membayar piutang dan menagihnya dari pihak ketiga itu. 
2. Post-dated check, di mana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayar dulu piutang tersebut. 
3. Bill discounting, secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah, hanya saja, dalam Bill discounting, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak di dapati dalam kontrak hawalah. 

    Perbankan syariah tidak menganut sistem bunga, namun lebih mengedepankan rasa tolong menolong, salah satunya yaitu dalam fasilitas take over yang ada di bank Syariah. Take over yang ada di sini yaitu pengalihan utang dari bank ke bank, yang mana nasabah mempunyai utang ke bank A kemudian mengalihkannya ke bank B, yaitu dengan cara bank B memberikan qardh kepada nasabah dan dengan qardh tersebut nasabah dapat melunasi utang yang ada di bank lama, qardh berupa pinjaman tanpa adanya tambahan karena setiap tambahan mengandung riba. Setelah nasabah melunasi utang yang ada di bank lama nasabah pun terbebas dan tidak mempunyai tanggungan, akan tetapi nasabah mempunyai tanggungan untuk melunasi qardh yang telah diberikan oleh bank B. Berikut ini Sifat-sifat dari fasilitas pengalihan Al-Hiwalah: 
1. Kebanyakan ulama tidak memperboleh-kan pengambilan manfaat (imbalan) atas pengalihan hutang-piutang tersebut antara lain dengan menguragi jumlah piutang atau menambah jumlah hutang tersebut. 
2. Bank hanya boleh membebankan fee atas jasa penagihan. 
3. Dalam dunia perbankan Hiwalah dapat diterapkan dalam proses “Debt Transfer”. 
4. Mengacu pada pengertian di atas debt transfer dapat di lakukan karena: seandai-nya A berhutang ke C dan B berhutang ke A atas permintaan A dapat melakukan pembayaran ke C. dalam hal ini; A. Dapat dianggap sebagai nasabah, B; Dapat dianggap sebagai bank, C; dapat dianggap sebagai mitra usaha nasabah. 

    Hutang A ke C adalah transaksi yang harus dilunasi akibat bisnis/perdagangan di antara mereka. Hutang B ke A adalah deposit nasabah di bank atas permintaan A, B dapat melakukan pemindah bukuan untuk keuntungan C untuk usaha ini bank dapat mengenakan fee kepada nasabah. 
Skema Hiwalah: 



Beberapa ketentuan dalam Hiwalah sebagai berikut: 
1. Apabila hiwalah berjalan sah, dengan sendirinya tanggung jawab muhil adalah gugur. Andaikan muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau membantah hiwalah atau meninggal dunia. Maka muhal tidak boleh kembali lagi kepada muhil, hal ini adalah pendapat ulama jamhur. 
2. Menurut Imam Abu Hanifah kreditur bisa menagih piutangnya kepada debitur terdahulu, apabila yang menerima pemindahan hutang itu meninggal dalam keadaan pailit atau mengingkari pemindahan hutang tersebut.

BAB III 
PENUTUP 

A. Kesimpulan 
    Hiwalah merupakan pengalihan hutang dari seseorang yang berhutang kepada orang lain, dan orang lain tersebutlah yang wajib menanggungnya. Penjelasan yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki hutang dan memindahkan hutangnya kepada orang lain disebut sebagai muhil, orang yang mempunyai hutang dan menerima hiwalah atas muhil disebut muhal, sedangkan orang yang berkewajiban membayar hutang atau yang dilimpahi hutang oleh muhil disebut
muhal‘alaih. 
    Dari beberapa penjelasan di atas tentang hiwalah, penulis menyimpulkan bahwa hiwalah merupakan pengalihan hutang, baik berupa hak untuk mengalihkan pembayaran atau kewajiban untuk mendapatkan pembayaran hutang, dari orang lain disertai rasa percaya dan kesepakatan bersama. 

B. Saran 
    Demikianlah makalah yang dapat kami susun. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, kami menyadari bahwa makalah ini bukanlah proses akhir, tetapi merupakan langkah awal yang masih banyak memerlukan perbaikan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan tanggapan, saran dan kritik yang membangun demi sempurnanya makalah kami yang selanjutnya. Dan semoga kita bisa bersama-sama mempelajari materi ini dan selanjutnya. 


DAFTAR PUSTAKA 
Al-Fauzan, Saleh. 2005. Fiqih Sehari-hari. Jakarta: Gema Insani Press. 
Dahlan, Abdul Azis. 2003. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 
Sabiq, Sayyid. 1990. Fiqih al-Sunnah, Jilid 3. Kairo: Dar al-Fath li al-I’lam al-Arabiy. 
Sjahdeini, Sultan Remy. 1999. Perbankan Dalam Islam Dan Kedudukannnya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia. Kota Padang: Pustaka Utama Grafiti. 
Fasiha. 2016. “Pengalihan Hutang Dalam Ekonomi Islam”. Jurnal od Islamic Economic Law, 1 (1): 81-89 
https://alawialbantani.blogspot.com/2018/07/makalah-ayat-ayat-alqurantentang.html#:~:text=Pada%20hadits%20ini%20Rasulullah%20memerintahkan,alaih)%2C%2 0dengan%20demikian%20hakknya%20dapat 
https://andyyjr20.blogspot.com/2018/03/makalah-fiqih-muamalah-hiwalah.html https://hurie85.wordpress.com/2014/07/16/materi-diskusi-hadits-ekonomi-hawalah/ http://eprints.walisongo.ac.id/334/2/072311032_Bab2.pdf https://rindaa16.blogspot.com/2019/08/makalah-hiwalah-serta-implementasi.html

-Mahasiswa Merantau Kuliah- Resume Kelompok X : Hadits Tentang Wakalah

  Hadist Tentang Wakalah A.     Pengertian Wakalah  Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti  menyerahkan atau mewak...